CELEBESMEDIA.ID, Makassar - Kasus pemotongan honorarium Satpol PP Makassar masih terus berlanjut. Tiga orang saat ini sudah ditetapkan sebagai tersangka.
Mereka adalah mantan Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) Makassar, Iman Hud; mantan Kepala Seksi Pengendali dan Operasional Satpol PP Makassar; dan mantan Kepala Satpol PP (Alm) Iqbal Asnan.
Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Patria Artha Makassar (Pukat UPA) Bastian Lubis mengatakan status tersangka tak seharusnya berhenti pada tiga orang. Namun, para camat di 14 kecamatan yang menjabat pada masa itu ikut terseret.
Bastian mengaku pihaknya sudah mempelajari kasus ini. Para camat yang dinilai harusnya paling bertanggung jawab.
"Saya dikasih data oleh beberapa orang, tolong kaji. Setelah diperiksa, yang bermasalah ini sebenarnya camat. Mereka yang pertama terlibat," ungkap Bastian, Selasa (20/12/2022).
Bastian menjelaskan camat sebelumnya meminta Bantuan Kendali Operasi (BKO) Satpol PP di tiap kantor Kecamatan untuk penertiban Perda. Terbitlah surat perintah yang saat itu ditandatangani oleh Iman Hud sebagai Kepala Satuan.
Namun ternyata para camat juga mengeluarkan Surat Keputusan (SK) soal penempatan Satpol PP di tiap kantor Kecamatan. Tapi SK itu tidak ditembuskan ke instansi Satpol PP.
Karena dibuatkan SK, para anggota Pol PP ini digaji lagi dari Kecamatan. Padahal, tunjangan honor mereka sudah ada di Satpol PP.
"Jadi setiap orang (Pol PP) yang ditugaskan di kecamatan itu sudah dapat honor. Yang heran kan ada SK Camat. Kenapa mengeluarkan lagi uang yang sebenarnya sudah dikeluarkan di Satpol PP," ucap Pakar Keuangan Negara itu.
Pemotongan honor pun mulai tercium. Para camat diam-diam membuat rekening sendiri atas nama Penampungan Honorarium Pol PP.
Kata Bastian, rata-rata ada 17 anggota Pol PP yang ditugaskan di tiap 14 kecamatan. Di rekening penampungan, mereka mendapat honor Rp1,7 juta per orang.
Namun dipotong sehingga yang masuk ke rekening anggota hanya Rp1,4 juta. Ada pemotongan sekitar Rp300 ribu per orang.
"Rp1,4 juta lebih 17 orang itu sekitar Rp24 juta, dikali empat tahun. Itu hanya satu kecamatan. Jadi ada kerugian negara sekitar Rp6 miliar, tidak hanya Rp3,5 miliar," jelas Bastian.
Ia menegaskan pengembalian uang dari mantan camat tidak bisa menghentikan proses hukum. Ia mendorong agar Kejaksaan terus menggali keterlibatan pihak lain dari kasus ini.
"Pengembalian uang bukan berarti masalah selesai. Camat yang bertandatangan harus jadi tersangka. Ikut," bebernya.
Sebelumnya, puluhan mantan camat dan staf kecamatan di kota Makassar ramai-ramai mengembalikan uang ke Kejaksaan Tinggi Sulsel. Uang itu adalah hasil dari honorarium Satpol PP Makassar tahun anggaran 2017-2020.
Kasie Penkum Kejati Sulawesi Selatan, Soetarmi mengatakan ada sekitar 27 orang yang mengembalikan uang. Jumlah totalnya Rp3,54 miliar.
Soetarmi mengatakan uang itu sudah diterima penyidik dan disetorkan ke Bank BRI sebagai uang pengganti kerugian negara.
"Uang titipan disetorkan ke Bank BRI Panakkukang yang akan diperhitungkan sebagai uang pengganti (kerugian negara). Jumlahnya Rp3,5 miliar lebih," ujar Soetarmi.
Uang tersebut disetor oleh 27 orang. Ada dari mereka yang saat itu menjabat sebagai pengguna anggaran, bendahara hingga pejabat pelaksana teknis kegiatan (PPTK).
Sebelumnya, Penyidik Pidana Khusus Kejati Sulsel sudah melakukan pemeriksaan terhadap 31 camat dan mantan camat pada periode 2017-2021 pada Rabu (2/11/2022) lalu. Para mantan camat mengaku bersedia untuk mengembalikan anggaran yang sudah menyebabkan kerugian negara hingga miliaran rupiah.
Dari hasil penyelidikan jaksa, honorarium itu dicairkan oleh orang yang tidak berwenang. Juga diterima pejabat yang tidak berhak.
Akibat perbuatan para tersangka, kata Soetarmi, negara mengalami kerugian hingga Rp3,5 miliar lebih.
Kini, para tersangka dijerat melanggar pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor: 20 Tahun 2001 Jo Pasal 55 KUHP tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor: 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Subsidiair Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 KUHP.