KOLOM ANDI SURUJI: Gelar Doktor Husain Abdullah Membedah JK - Celebesmedia

KOLOM ANDI SURUJI: Gelar Doktor Husain Abdullah Membedah JK

Andi Suruji - 31 March 2022 18:44 WIB

MEMBICARAKAN sosok dan sepak terjang M Jusuf Kalla, wakil presiden RI dua periode dengan dua presiden berbeda, memang tak akan ada habis-habisnya. Dia adalah sumber ilmu dan pengetahuan, baik dalam konteks teoritis maupun pada tataran praksis kontekstual. 

JK bisa ditempatkan pada tataran teoretikal untuk ditarik ke dalam tataran praksis. Demikian juga sebaliknya, pola pikir, cara pandang, strategi kebijakan, tindakannya, dapat dikorelasikan dan dikontekskan dengan berbagai teori. Teori pemerintahan, teori kebijakan publik, teori hukum, sosial, ekonomi, bisnis, sampai kemanusiaan dan agama. 

Ia merupakan gudang tacit knowledge, pengetahuan yang diperolehnya melalui pengalaman hidup yang panjang dan berjenjang bersama kehidupan pribadi dan pengembangan profesional. Seringkali bersifat subjektif, informal, dan sulit dibagikan atau diekspresikan kepada orang lain karena merupakan keyakinan dan nilai-nilai personal. 

Hanya orang-orang yang dekat sekali dengannya, yang dapat memahami konektivitas antara pola pikir dan dasar teorinya, serta korelasi antara tindakan dan latarbelakang berpikir JK.

Husain Abdullah, juru bicara JK di masa JK sebagai Wakil Presiden, menjelaskan itu dengan sempurna dalam disertasi doktoralnya "Resolusi Konflik Berbasis Idiosinkratik: Peran Kepemimpinan M Jusuf Kalla dalam Proses Perdamaian Aceh".

Disertasinya itu dipertahankan dalam sidang promosi Doktor di hadapan tim penguji Pasca Sarjana Universitas Padjadjaran Bandung, Kamis 31 Maret 2022 dengan hasil "sangat memuaskan". Penilaian yang cukup obyektif. 

Dalam suatu konflik, tentu ada masalah, dua pihak yang tidak sepaham, dan ada pihak yang menengahi atau menangani permasalahan dan kedua pihak yang berkonflik. Di sanalah peran kepemimpinan JK membawa kedua pihak bertemu, berdialog, menyatukan pandangan, bersepakat untuk menyelesaikan masalah secara permanen. 

Tentu saja JK tidak dapat sekonyong-konyong menginstruksikan pihak lain, dalam hal ini Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk mau masuk ruang perundingan. Walaupun JK sebagai Wakil Presiden. Takdir Allah, tsunami dahsyat terjadi dengan korban yang amat banyak, di tengah kondisi konflik kronis. 

Di sinilah titik tolak perjalanan resolusi itu menemukan momentumnya. Pertama-tama dan utama, JK yang memimpin penanganan dampak hebat tsunami, melakukan pendekatan kemanusiaan. Menolong semua korban, siapa pun dia, warga pro Pemerintah, maupun pihak GAM. Kemanusiaan melampaui semua batas dan sekat, ideologi dan agama. 

Keputusan JK tepat. Dalam proses pengambilan keputusan dikenal faktor psikologis atau disebut idiosinkratik yang dapat diambil oleh pengambil kebijakan sesuai model Margaret Herman.

Idiosyncratic atau idiosinkratik merupakan gabungan dua kata yaitu ideology dan syncratic. Ideologi menurut Anthonio Gramsci adalah kerangka atau paradigma analisis untuk memahami dan menyelesaikan masalah. Sementara syncratic, perpaduan semua yang baik dari semua yang ada. 

Dari sinilah berdasar tinjauan tesis doktoral Husain Abdullah yang telah banyak memahami JK secara utuh luar dalam, selama sekitar 35 tahun relasi multidimensi mereka berdua. Husain Abdullah mampu memformulasikan pengalaman empirik JK dengan bungkusan teori akademik yang rumit, namun dapat menjelaskannya dengan sempurna. Tentu tak lepas dari latar belakang Husain sebagai jurnalis. 

Modal sosial dan kemanusiaan JK menangani korban tsunami itulah yang menimbulkan rasa empati dan simpati, yakin dan percaya (trust) kepada JK, terutama dari kalangan GAM, dan kemudian membuka jalan perundingan berujung damai itu. JK menyentuh zona terdalam sisi kemanusiaan yang pada asasinya suka kedamaian. Itulah faktor ideosinkratik. 

Ada satu prinsip yang dipompakan JK kepada pihak GAM maupun pemerintah, bahwa hanya orang berani yang mau berkonflik, tetapi lebih berani lagi orang yang mau berdamai. Ini penerjemahan dan ekstensi pemahaman personal JK dari ajaran agama bahwa mulia orang yang meminta maaf namun lebih mulia orang yang memberi maaf. 

Dalam menangani konflik Aceh, JK mengesampingkan pendekatan militeristik yang faktanya sudah diterapkan puluhan tahun namun belum juga dapat menyelesaikan masalah. Karena itu JK melakukannya dengan pendekatan teori dan praksis yang multi dimensional. Perdamaian harus dicapai dengan solusi win-win dan bermartabat. Harga diri semua pihak tegak dan terhormat. 

Di sinilah keunggulan JK yang berlatar belakang kombinasi sipil, pengusaha, ekonom, politisi, pekerja sosial keagamaan dan kemanusiaan. Ia mengombinasikan pengetahuan dari aneka latar belakangnya itu untuk digunakan dalam praksis perundingan dengan pendekatan yang multi dimensi. 

The winner takes it all. Pemenang mengambil semua. Itu dalam perang. Dalam perdamaian semua pihak menjadi pemenang. Mengakhiri konflik dengan cara cash and carry. GAM meletakkan senjata, tentara meletakkan senjata, semua senjata dipotong dan dimusnahkan. GAM tidak berontak lagi, tentara pun keluar dari bumi Aceh, pada saat yang bersamaan.

Banyak pihak yang semula menggugat mengapa GAM mendapat lebih banyak. JK menangkis, bahwa biaya untuk mencapai perdamaian jauh lebih kecil ketimbang menghabiskan anggaran dua triliun rupiah tiap tahun dengan pendekatan militeristik. Sudah berapa banyak uang negara habis, tetapi belum ada hasil, tanpa kedamaian dan ketenteraman umum. Korban jiwa terus terjadi, tangis duka memilukan. 

Ada yang memprotes, mengapa GAM yang nota bene pemberontak, seketika mendapat tanah dan fasilitas? JK menjawab, mengapa transmigran dari Jawa juga bisa langsung mendapat tanah di Kalimantan, Sulawesi, Sumatera? Toh transmigran dan eks GAM yang sudah menerima perdamaian sama-sama warga negara, anak-anak bangsa. Lagi pula eks GAM mendapat tanah di daerahnya sendiri. 

Banyak hal yang dalam pikiran orang rumit, tidak adil, tidak masuk akal, tetapi dapat disimplifikasi secara sederhana dan logik oleh JK. Dan kemudian terbukti jitu dengan hasil sesuai harapan. 

Tidak banyak yang tahu, ketika JK menelpon Martti Ahtisaari, Presiden ke-10 Finlandia serta peraih hadiah Nobel 2008, untuk membantu dalam proses perdamaian di Aceh, Martti seketika bersedia dan meminta JK membuat permohonan secara tertulis (maksudnya surat resmi).

Tanpa pikir panjang, JK langsung menyatakan ok, segera dikirim yang tertulis. Setelah menutup percakapan telepon, JK langsung menulis permohonannya di handphonenya, dan mengirimkannya lewat short message service (SMS). 

Sejurus kemudian, JK menelpon Martti lagi dan memberitahu bahwa yang tertulis yang diminta sudah dikirim via SMS. Demikianlah JK.

Tag