SUNGGUH malang bocah 10 tahun Fadli Sadewa. Dikabarkan
dibawa orang tak dikenal Minggu lalu. Selasa dini hari ditemukan polisi
Makassar dalam keadaan tak bernyawa lagi.
Tak terbayangkan rasa pilu kedua orang tua dan keluarganya.
Kita pun turut merasakan duka itu. Mencabik rasa dan perasaan kemanusiaan kita.
Betapa tidak. Anak manis yang lagi lucu-lucunya itu,
ditemukan polisi dalam keadaan terikat tali rapia dan terbungkus kantong
plastik. Bukan selimut atau sarung penahan dingin. Bukan pula di kasur rumahnya,
tetapi di kolong jembatan.
Menurut keterangan polisi, tersangka pelaku kejahatan itu,
sejauh ini, sudah dua orang yang ditahan dan diperiksa. Kita berharap, polisi
menangani kasus ini secara profesional, menegakkan hukum, berlandaskan rasa
keadilan dan perikemanusiaan.
Begal orang tidak bersalah dan tak bermasalah. Perang antar
kelompok remaja menggunakan senjata tajam. Kriminal itu semakin sering kita
dapatkan beritanya.
Menculik dan membunuh anak, sebagaimana dialami Fadli,
menambah deretan panjang catatan kelam rasa aman dan ancaman keselamatan warga
kota Makassar di awal tahun ini.
Hari ini mereka, besok bisa siapa saja yang jadi korban
kejahatan. Bisa kita, mungkin anak aparat keamanan dan hukum.
Membayangkan kejahatan itu, menggiring pikiran kita pada
film-film koboi tempo dulu. Bahkan ketika nyawa manusia menjadi permainan para
pelaku kejahatan, seolah nyawa tak bernilai apa pun, rasanya kita masih hidup
pada zaman purba.
Padahal pemerintah kota ini dengan lantang meneriakkan
slogan Makassar Kota Dunia, Smart City of Makassar.
Antara slogan dan perilaku sebagian warga kota rasanya masih
seperti dua kutub yang berjauhan. Jaraknya antara langit dan bumi.
Perilaku buruk warga cenderung melanggar aturan, ketertiban.
Bukan saja melanggar aturan, tetapi membahayakan keselamatan dan jiwa warga
lainnya.
Contoh kecil yang dialami Elly, Senin siang. Karyawati
swasta itu mengantar anaknya pakai motor pulang dari kantor setelah mampir dari
sekolah.
Mereka terjatuh dari motor karena secara tiba-tiba muncul
anak muda berkendara motor pula yang melanggar, melawan arus. Elly kaget, merem
mendadak dan terjatuh ditimpa motor bersama anaknya.
Anak muda itu, menurut Elly, bukannya menolong, malah
menertawai Elly dan anaknya, yang celaka karena ulah anak muda tak berhelm itu
dan melanggar rambu lalu lintas. Sungguh, itu perilaku tak terpuji tanpa rasa
empati sedikit pun terhadap sesama manusia. Semakin lunturkah rasa kemanusiaan
manusia itu?
Melawan arus lalu lintas sudah jadi pemandangan sehari-hari.
Pengendara seolah tak merasa bersalah sedikit pun melanggar aturan. Bahkan
seperti ada rasa bangga jika berhasil melanggar.
Melanggar rambu, melawan arus lalu lintas, adalah perilaku
sangat buruk. Membahayakan diri sendiri dan mengancam keselamatan orang lain.
Padahal, aturan, termasuk berlalu lintas, dibuat untuk
menciptakan ketertiban umum. Ketika pelanggaran menjadi kebanggaan, keselamatan
dan keamanan warga menjadi taruhannya.
Pada titik ini kita tak perlu marah, kalau dikatakan kita
belum beranjak dari peradaban purba. Perilaku itulah yang menyatakannya.
Boleh jadi brutalisme warga yang semakin mencemaskan dan
meresahkan itu dimulai dan membiak subur karena lemahnya penegakan hukum dan
penindakan pelanggaran.
Padahal setiap pelanggaran sesepele apa pun sejauh sudah
mengancam keselamatan jiwa orang lain, hukumannya harus keras. Berefek jera.
Pemerintah bersama aparatur negara lainnya, harus hadir
sebagai representasi negara di tengah masyarakat. Tentu pada level pemerintahan
terendah sekalipun.
Kehadirannya untuk menegakkan hukum dan keadilan, serta rasa
aman. Melindungi masyarakat dari kekerasan dan bahaya.
Itulah salah satu tugas dan tanggung jawab pemerintah
(negara) sebagaimana dikatakan Adam Smith, ekonom dan filsuf Skotlandia, dalam
bukunya The Wealth of Nations yang sangat terkenal.
Kehadiran negara harus nyata dan dirasakan rakyat. Bukan
sekadar didengar melalui slogan kosong yang membuai dan membual.