CELEBESMEDIA.ID, Makassar - Pelapor khusus PBB untuk
Palestina Francesca Albanese pada Senin (12/2) menegur keras Israel karena
melarangnya masuk ke negara Zionis itu.
Albanese menyebut hal itu sebagai contoh terbaru pelarangan
pelapor khusus PBB sejak 2008 dan upaya untuk mengalihkan perhatian dari meningkatnya
kekejaman di Gaza.
Pernyataan Albanese muncul di tengah laporan meningkatnya
kekerasan di Gaza, terutama di kota bagian selatan, Rafah, di mana para warga
sipil mencari perlindungan di tempat yang seharusnya aman, tetapi mereka
mengalami pemboman yang menghancurkan.
"Israel melarangku masuk bukan berita baru: Israel
melarang masuk semua pelapor khusus/oPt sejak 2008! Ini tidak boleh menjadi
pengalihan dari kekejaman Israel di Gaza, yang mengalami tingkat kengerian baru
dengan pemboman terhadap orang-orang di 'daerah aman' di Rafah," kata dia
melalui platform X.
Mantan pejabat PBB dan aktivis hak asasi manusia Craig
Mokhiber mendukung Albanese dengan membuat pernyataan di X.
“Serangan tanpa henti terhadap pembela hak asasi manusia
Francesca Albanese, Pelapor Hak Asasi Manusia PBB yang berani dan berprinsip di
Palestina, terlihat jelas dan menjengkelkan."
"Sungguh memalukan bagi mereka yang ‘menembak pembawa
pesan’ untuk mengalihkan perhatian dunia dari kejahatan Israel. Hal ini tidak akan
berhasil," lanjut Mokhiber.
Israel telah memberi peringatan akan melakukan serangan
darat di Rafah, tempat tinggal bagi lebih dari satu juta orang yang mencari
perlindungan dari perang, untuk mengalahkan apa yang Israel katakan sebagai
“batalion Hamas” yang tersisa.
Serangan yang direncanakan itu memicu kekhawatiran akan
bencana kemanusiaan di Rafah.
Warga Palestina mencari perlindungan di Rafah ketika Israel
menggempur wilayah kantong lainnya sejak serangan lintas batas oleh kelompok Palestina
Hamas pada 7 Oktober.
Pemboman Israel yang terjadi kemudian telah menewaskan lebih
dari 28.000 orang dan menyebabkan kehancuran massal dan kekurangan bahan-bahan
kebutuhan pokok.
Perang Israel di Gaza telah menyebabkan 85 persen penduduk
wilayah tersebut mengungsi di tengah kekurangan makanan, air bersih dan
obat-obatan, sementara 60 persen infrastruktur di wilayah tersebut telah rusak
atau hancur, menurut PBB.
Sumber: ANTARA