CELEBESMEDIA.ID, Makassar - Presiden Rusia Vladimir Putin mengeluarkan
ancaman bahwa Rusia akan menghentikan kontrak pemasokan gas ke Eropa untuk
tahap ketiga, kecuali negara-negara kawasan itu melakukan pembayaran dengan
mata uang Rusia, ruble.
Ancaman itu sejauh ini merupakan pembalasan paling keras
yang dilancarkan Putin di bidang ekonomi atas rentetan sanksi yang dijatuhkan
negara-negara Barat terhadap negaranya terkait invasi Rusia ke Ukraina.
Putin, yang menghadapi perlawanan keras dari militer
Ukraina, telah memainkan salah satu kartu terpentingnya menyangkut kebutuhan
energi negara-negara Eropa.
"Mereka harus membuka rekening dalam ruble di bank-bank
Rusia. Dari rekening itulah pembayaran akan dilakukan sebelum gas dikirimkan
mulai besok," kata Putin, menegaskan pada Kamis (31/3/2022).
"Kalau pembayaran itu tidak dilakukan dalam ruble, kami
akan menganggap para pembeli gagal melalukan pembayaran, diikuti dengan
konsekuensi berikutnya. Kontrak yang ada sekarang akan dihentikan," lanjut
Putin.
Diberitakan ANTARA, pemerintah negara-negara Eropa pada
Jumat (1/4) menentang ultimatum Putin itu.
Jerman, negara di Eropa yang paling banyak mengimpor gas
Rusia, menyebut ancaman tersebut sebagai "pemerasan".
Namun, Moskow sudah menawarkan mekanisme bagi para pengimpor
gas untuk melakukan pembayaran melalui bank Rusia.
Menurut perintah yang ditandatangani Putin, calon pembeli
bisa mengirimkan mata uang asing ke rekening yang ditunjuk di bank Rusia,
Gazprombank.
Dari situ, bank tersebut akan mengembalikan ruble kepada
calon pembeli untuk melakukan pembayaran.
Pemerintah negara-negara Barat mengatakan tuntutan Putin
soal pembayaran dalam ruble akan berarti pelanggaran kontrak dalam euro dan
dolar.
Eropa ingin melepaskan diri dari ketergantungan pada pasokan
energi dari Rusia. Namun, tindakan itu berisiko membuat harga bahan bakar
semakin melonjak.
Pertikaian soal energi itu berpotensi menyebabkan dampak
yang parah bagi Eropa, pada saat para pejabat Amerika Serikat bergerilya ke
seluruh dunia untuk menekan Putin menghentikan invasi yang sudah berlangsung
selama lima pekan.
Akibat serbuan Rusia itu, seperempat jumlah penduduk Ukraina
mengungsi meninggalkan wilayah mereka.
Sementara itu di tengah perang yang memperburuk harga bahan
bakar secara global, Presiden AS Joe Biden mengucurkan cadangan minyak AS dalam
jumlah terbesar yang pernah dilepaskan selama ini.
Pada saat yang sama, Biden mendorong perusahaan-perusahaan
raksasa perminyakan untuk lebih banyak melakukan pengeboran.
"Ini adalah momen penting dan bahaya bagi dunia,"
kata Biden ketika ia mengumumkan pengucuran 180 juta barel mulai Mei.
Namun, jumlah barel tersebut tidak dapat menutup kerugian AS
atas minyak dari Rusia, yang dilarang Biden bulan ini.