CELEBESMEDIA.ID, Makassar - Hanif Luthfi dalam bukunya "Hukum Fiqih Seputar Ahli Kitab" (23:2019) menyebutkan bahwa ahlul kitab merujuk kepada individu yang memegang kitab suci selain Al-Quran, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Namun, Imam Syafi'i memberikan definisi yang lebih spesifik, yaitu bahwa ahlul kitab hanya mencakup pengikut Yahudi, Nasrani, dan Bani Israil.
Pengkajian fiqih menyebutkan tentang hukum menikahi dan memakan sembelihan ahlul kitab.
Secara etimologis, ahlul kitab adalah individu yang memiliki kitab. Namun, dalam konteks Islam, konsep ini memiliki implikasi hukum yang menarik untuk diperhatikan.
Hukum menikahi dan memakan sembelihan ahlul kitab diatur dalam Al-Quran QS Al-Maidah [5]: 5.
Ayat tersebut mengizinkan konsumsi sembelihan ahlul kitab dan pernikahan dengan wanita mereka (Yahudi dan Nasrani).
Rasulullah saw mengakui mereka sebagai ahlul kitab, memperbolehkan konsumsi sembelihan mereka, dan pernikahan dengan wanita-wanita mereka.
Namun, syarat-syarat tersebut harus sesuai dengan ketentuan syariat.
Sembelihan ahlul kitab yang dapat dikonsumsi haruslah sesuai dengan tata cara penyembelihan syariah.
Misalnya, tidak boleh mengonsumsi daging babi atau hewan yang disembelih dengan cara yang tidak benar seperti disetrum atau dicekik.
Dalam konteks pernikahan dengan wanita ahlul kitab, diperbolehkan jika wanita tersebut adalah wanita yang jujur dan tidak melakukan perbuatan zina.
Namun demikian, lebih disukai jika pasangan yang dipilih adalah seorang muslimah.***