BANYAK warga Sulawesi Selatan terpaku menyimak jalannya
persidangan putusan hukum bagi Nurdin Abdullah, Gubernur Sulsel nonaktif, yang
digelar Pengadilan Tipikor Makassar, hingga larut malam.
Majelis hakim yang dipimpin Hakim Ketua Ibrahim Paliano,
anggota Yusuf Karim dan Arief Agus Nindito menjatuhkan vonis bersalah melakukan
tindakan pidana korupsi dengan hukuman bui 5 tahun plus denda Rp 500 juta.
Kita tentu menghormati putusan pengadilan. Tetapi proses
hukum belum berakhir. NA masih memiliki hak untuk banding ke tingkat peradilan
yang lebih tinggi. Kita pun musti menghargai itu.
Apa pun hasil akhir peradilan ini, proseslah yang akan
menentukan. Adu argumentasi, tarung logika. Adu bukti, perang data. Ada norma
dan etika hukum pula yang mewarnai setiap proses pencarian rasa keadilan di
pengadilan yang mulia.
Mejelis hakim, pada tingkat peradilan mana pun, tentu akan
selalu mencari bukti yang kuat dan data yang akurat agar putusannya presisi.
Ada prinsip mulia di kalangan penegak hukum, dan dunia hukum, bahwa memvonis
bebas orang yang bersalah lebih baik daripada menghukum orang yang tidak
bersalah.
Tentu saja prinsip itu harus berlandaskan pada asas
fairness. Itu sebabnya hakim harus independen. Tidak memiliki potensi konflik
kepentingan dalam setiap perkara yang disidangkannya. Mereka harus teguh dalam
pendirian, jernih hati nuraninya di balik jubah hitamnya, sehingga adil seadil-adilnya
dalam putusannya.
Saya teringat cerita seorang wartawan senior yang mengalami
tragedi keluarga. Adiknya dibunuh oleh seseorang. Media tempatnya bekerja,
menugaskan wartawannya melakukan investigasi. Sang wartawan "mundur"
dari ruang redaksi (newsroom) untuk memberi peluang independensi medianya.
Itulah contoh profesionalitas dan integritas dari newsroom
sebuah media. Contoh lain wartawan New York Times dan Washington Post, atau
Bloomberg, yang tidak pernah mau dibayarkan kopinya sekalipun walau hanya
secangkir oleh nara sumbernya.
Jauh di belakang, ke masa amat lampau, kita bisa
terinspirasi cerita Nene Mallomo, yang terpaksa menghukum cucunya sendiri hanya
gara-gara mengambil sepotong kayu bukan miliknya. Ade' e temmakkeana,
temmakkeappo (adat atau hukum tak mengenal anak-cucu). Itu prinsip hukum.
Begitu pula kisah tragis raja Luwu yang harus rela
melepaskan anaknya diasingkan karena menderita penyakit menular. Ia
diperhadapkan pada situasi memilih satu orang anak tetapi mengorbankan orang
banyak, atau mementingkan orang banyak tapi mengorbankan satu orang anaknya. Ia
memilih orang banyak (rakyat) agar tidak tertular penyakit. Lebbireng tello
maegae naiyya siddi tello amporo'e.
Itu prinsip hukum, sikap kepemimpinan yang tegas dan
beritegritas. Menempatkan kepentingan rakyat banyak di atas kepentingan
pribadi. Mereka tentu tidak sekolah tinggi-tinggi dan jauh-jauh hingga ke
negeri orang. Tetapi mereka memiliki pengetahuan, pemahaman yang luas tentang
makna terdalam hidup menggenggam kekuasaan.
Dalam konteks kasus NA, banyak pelajaran yang bisa dipetik.
Bukan hanya soal hukum semata. Ada banyak sisi lain, tersembunyi atau terang,
tersirat maupun tersurat. Ya, dalam hal politik berkuasa dan kekuasaan, norma,
dan etika. Juga tentang profesionalitas dan integritas dalam tata kelola
pemerintahan berspektrum luas, sampai hubungan antar manusia.
Profesionalitas, moralitas, dan integritas seseorang, sangat
mungkin mengalami degradasi bilamana berhadapan dengan situasi dan kondisi yang
mengandung unsur-unsur benturan kepentingan (conflict of interest).
Profesionalitas dan integritas mulai teruji manakala seseorang (siapa pun dia)
berada pada posisi yang menggenggam kekuasaan untuk mengatur dan menentukan
sesuatu.
Kekuasaan yang diberikan padanya untuk mengatur dan
menentukan keberpihakannya semata pada kepentingan orang banyak, sering
tercabik ketika berhadapan dengan kepentingan pribadi, keluarga, dan golongan
atau kelompok.
Dalam sidang putusan pengadilan kasus NA semalam, majelis
hakim yang silih berganti membacakan paparan fakta, data, argumentasi, logika,
norma, etika, itu bertaburan contoh konkret makna penting tentang profesionalitas
dan integritas tersebut.
Nurdin Abdullah bukan semata sebagai seorang gubernur, orang
nomor satu di daerah ini, harus menghadapi hukuman formal berupa penjara lima
tahun itu. Hukum sosial tentu tak kalah beratnya dia harus pikul karena
statusnya sebagai suami, ayah, mertua, kakek, bergelar professor, dan pendidik.
Kasus NA pun menjadi catatan sejarah dalam pemerintahan,
khususnya di daerah ini, karena baru kali ini seorang gubernur Sulsel harus
duduk di kursi tersangka, terdakwa di pengadilan, yang berujung berstatus
terpidana. Ini pengalaman pahit, sekaligus pelajaran penting bagi pemimpin
muda, dan calon pemimpin daerah di masa mendatang.
Noblesse Oblige, kata orang Perancis. Pada setiap jabatan
(kekuasaan) melekat kehormatan (tanggung jawab). Tetapi kekuasaan yang
mengutamakan keserakahan dan mengabaikan kehormatan bisa berakhir kenistaan
(humiliate).
Pesan Bugis bilang, issengngi alemu, tanreangngi siri mu,
mutuwo mallongi-longi. Kenali dirimu (tahu batas), jaga harkat dan martabatmu
setinggi mungkin, supaya mulia hidupmu.