CELEBESMEDIA.ID, Makassar – Berbentuk unik dengan rasa yang
manis. Dua kesan ini yang akan muncul ketika melihat barongko. Kue tradisional
ini sering menjadi salah satu kudapanyang disajikan di hajatan pernikahan,
sunatan atau pun aqiqah Suku Bugis-Makassar.
Keunikan lain dari kue ini yakni bentuknya yang menyerupai
bangun ruang segitiga. Barongko berwarna
putih kekuningan dikemas secara tradisional dengan menggunakan daun pisang.
Bahan utama dari penganan ini juga dari pisang yang dilumatkan. Memiliki cita rasa manis dan tekstur yang lembut.
Kue barongko memiliki filsofi yang mendalam, sebagian besar
masyrakat Bugis menyebut barongko sebagai kue kejujuran, karena berbahan dasar
pisang kemudian dibungkus kembali dengan tanaman yang sama (daun pisang)
merepresentasikan kejujuran.
Maknanya, bahwa haruslah sama apa yang terlihat di luar
dengan apa yang tersimpan di dalam diri kita. Hal ini tentunya mengajarkan kita
bahwa apa yang diucapkan harus sama dengan yang kita lakukan, apa yang kita
kerjakan harus sama dengan apa yang dirasakan.
“Keu ini bisa dibilang kue kejujuran sebab seperti barongko
yang berbahan pisang dibungkus daunnya juga. Maksudnya apa yang terpikirkan dan yang dirasakan harus
selaras dengan tindakan yang dilakukan,” kata Nita (50), salah stau pemilik warung
kue tradisional di Makassar.
Konon kudapan ini dulunya termaksud dalam makanan mewah
kerajaan, yang disajikan sebagai hidangan penutup para raja serta hanya bisa
dijumpai pada momen-momen tertentu saja
seperti acara pernikahan dan upacara adat.Namun saat ini kue barongko dapat
dengan mudah dijumpai.
Nita mengaku telah berjualan kue tradisional selama sekitar
30 tahun. Nita mengatakan tiap harinya menghabiskan 5 sisir pisang dan bisa
menghasilkan 200 biji barongko dengan harga per buahnya Rp.3000 ribu. Penghasilan perharinya mencapai
Rp300.000 ribu.
"Barongko tiap hari laku. Cuman yang bisa laku banyak
itu ketika hari jadinya Kota Makassar bisa laku sampai 5000 biji,” katanya.
Barongko dianggap memiliki nilai budaya yang tinggi dan
makna yang dalam, karenanya pada tahun 2017 lalu, panganan Sulsel ini dinobatkan sebagai warisan budaya tak benda
oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
(Laporan Irnawati – Irfan UMI)