AGAK galau dunia usaha menyikapi rencana pemerintah menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11℅ menjadi 12%.
Padahal, kenaikan PPN itu merupakan amanat dari UU No 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Dijadwalkan berlaku mulai 2025. Logikanya, seharusnya dunia usaha sudah siap.
Akan tetapi, beralasan juga kegalauan dunia usaha itu. Perekonomian nasional masih melambat, rambatan faktor global. Dunia usaha masih jalan di tempat. Sisa dampak krisis pandemi Covid-19 masih terasa. Sebagian baru mau bangkit. Sebagian lagi mencatat kerugian. Bahkan ada yang terpaksa tutup. Gulung tikar.
Dalam kondisi seperti itu, isu kenaikan tarif pajak, khususnya PPN, wajar kalau merisaukan. Efeknya bisa panjang soalnya. Sementara aparat pajak semakin "tertib dan teratur" mengejar ketaatan pembayar pajak untuk meningkatkan penerimaan negara.
Sekilas memang terkesan kecil kenaikannya. Hanya satu persen poin. Dari 11% menjadi 12%. Ayo coba kita hitung.
Andaikan satu barang seharga Rp 1 juta, dikenakan pajak 11%, nilainya 110 ribu rupiah. Jika barang itu dikenakan pajak 12%, maka nilai pajaknya 120 ribu.
Masih kecil bukan! Hanya 10 ribu rupiah kenaikannya. Tetapi 10 ribu itu bermakna kenaikan 9 persen, diukur dari nilai pajak sebelumnya (10.000/110.000x100).
Jadi tarifnya naik 1% tetapi kenaikan nominalnya melonjak sebesar 9%. Semoga paham sampai di sini.
Kecuali isu pajak, pengusaha juga dihantui kenaikan upah buruh sampai 6,5%. Berdasarkan cara hitung di atas, kenaikan upah buruh secara nominal juga tentu lebih besar.
Belum lagi isu kenaikan kewajiban yang harus ditanggung perusahaan untuk tunjangan jaminan hari tua pekerja dalam sistem jaminan sosial yang dikelola BPJS.
Bertubi-tubi pukulan yang harus ditanggung pengusaha. Kesal, marah? Wajar saja. Apalagi uang negara, yang antara lain bersumber dari pajak seluruh rakyat, banyak dikorupsi oleh para koruptor yang tidak adil dan tak berperikemanusiaan itu.
Sabar... Sabar dulu. Ada kabar baik. Menurut pimpinan DPR setelah berkonsultasi dengan presiden, hanya barang mewah yang bakal dikenakan kenaikan PPN. Jadi PPN tidak akan berada dalam satu tarif, (Tribun Timur, 6/12/2024).
Maka dari itu, difinisi dan klasifikasi barang mewah ini yang harus benar-benar ditetapkan secara cerdas dan cermat, serta adil. Jika tidak, jargon "pajak untuk keadilan" akan berubah menjadi "pajak tak berkeadilan".
Contoh analogi mobil dan motor. Apakah mobil atau motor diklasifikasikan sebagai barang mewah, sehingga dikenakan PPN?. Padahal banyak orang membeli mobil atau motor bukan untuk kemewahan, tetapi untuk alat kerja bahkan modal kerja.
Pengemudi online misalnya, membeli mobil atau motor untuk dipakai mencari uang biaya hidup. Lantaran susah pekerjaan lain, atau kena pemutusan hubungan kerja, menjadi driver online adalah jalan cepat menyambung hidup.
Entry barrier-nya hampir nol. Uang pangkal rendah, genjot kendaraan, hasilnya buat cicilan dan biaya hidup. Dalam konteks ini, mobil bukanlah barang kemewahan.
Dalam konteks itu pula, pemerintah seharusnya berterima kasih kepada mereka yang menciptakan lapangan kerja untuk dirinya sendiri. Ungkapan terima kasih kepada pejuang keluarga itu seharusnya berupa perbedaan perlakuan pajak.
Mengapa kenaikan itu bukan 0,5 atau 0,25 persen, misalnya. Toh ketika ditetapkan besaran kenaikan tarifnya, negara juga masih dalam kondisi pandemi Covid-19. Darurat kesehatan.
Harusnya ada klausul exit policy bilamana kondisi perekonomian dan dunia usaha belum pulih sepenuhnya pada saat aturan itu mau diberlakukan. Tentu saja pada saat penetapan undang-undang itu, ekspektasi pemerintah dan legislatif memprediksi kondisi perekonomian sudah pulih pada 2025.
Nyatanya kan tidak sepenuhnya akurat. Siapa sangka tiba-tiba terjadi perang Rusia-Ukraina disusul masalah Palestina-Israel. Berkepanjangan dan turut menjadi faktor pengaruh perekonomian global. Termasuk Indonesia.
Benar kata Ketua DPR-RI Puan Maharani. Pemerintah harus mendengar aspirasi semua stakeholder perpajakan nasional. Proses legislasi merevisi undang-undang tentu bukan hal tabu, agar tetap konstitusional untuk mencapai tujuan nasional. Ekonomi dan dunia usaha bergerak, pajak tetap mengalir masuk ke pundi-pundi negara.
Pada sisi lain, pemerintah harus secara paralel dan simultan juga memberantas segala macam praktek usaha ilegal, yang merugikan negara. Misalnya, impor ilegal karena sangat merugikan usaha dalam negeri. Terutama produsen sejenis barang impor ilegal atau yang under paid tersebut.
Begitulah harapan untuk pemerintah yang adil dengan kebijakan perpajakan yang berkeadilan, agar dunia usaha dan ekonomi dapat tumbuh berkelanjutan dan berdaya saing kuat.
Andi Suruji, Wartawan, Pemimpin Umum Tribun Timur.
Artikel ini telah tayang di Surat Kabar Tribun Timur, edisi 7 Desember 2024.