KOLOM ANDI SURUJI: Makan Gratis dan Rekayasa Sosio-kultural - Celebesmedia

KOLOM ANDI SURUJI: Makan Gratis dan Rekayasa Sosio-kultural

Andi Suruji - 07 January 2025 08:59 WIB

SERING kita mendengar orang bilang tidak ada yang namanya makan siang gratis. Itu adalah pepatah populer yang berpandangan bahwa tidak mungkin mendapatkan sesuatu secara cuma-cuma. Artinya, untuk mendapatkan sesuatu harus ada upaya atau biaya.

Ungkapan itu telah lama ada. Bahkan ekonom pasar bebas Milton Friedman memparafrasekannya dalam judul bukunya yang terbit tahun 1975 : There's No Such Thing A Free Lunch. Istilah dari judul buku itu digunakan dalam literatur ilmu ekonomi untuk menggambarkan biaya peluang (opportunity cost).

Tentu saja istilah itu berbeda dengan Makan Bergizi Gratis, program Presiden Prabowo Subianto yang mulai dijalankan dalam skala besar pada Senin (6/1/2025). Sebab, untuk mendapatkan makan gratis itu, murid atau siswa tidak memerlukan upaya dan tanpa biaya apa pun.

Sejauh tayangan siaran stasiun televisi yang sempat saya pantau, uji coba makan gratis yang dikerubuni pejabat, termasuk menteri yang tidak ada kaitan tupoksinya, anak-anak cukup duduk manis saja. Pejabat-pejabat itulah yang sibuk melayani dan membagikan makanan. Mungkin karena edisi perdana jadi semua bersemangat.

Walaupun makan bergizi gratis labelnya, tetapi secara substansial harusnya tidak betul-betul gratis. Meskipun tidak dibayar dengan uang, program ini sebaiknya disertai agenda rekayasa sosio-kultural sebagai imbalan atau "ongkos belajar".

Jadi istilahnya diubah menjadi Nation Character Building with a Free Lunch. Dengan demikian, program makan itu tak sekadar mengisi perut, upaya pemenuhan gizi anak-anak, tetapi sekaligus sebagai agenda besar membangun karakter bangsa di kalangan generasi penerus tersebut.

Dengan rekayasa sosial, program ini akan menghasilkan outcome yang tak bisa ternilai dengan kalkulasi biaya atau rupiah.

Rekayasa sosial yang dimaksud adalah ritual makan itu wajib disertai pendidikan dini tentang kedisiplinan, higienitas, motivasional, kultur, solidaritas, etika dan atitud. Mulai dari penyajiannya, saat makan, sampai setelah selesai makan.

Makanan jangan diantarkan ke meja masing-masing anak. Tetapi makanan cukup diletakkan saja pada satu tempat. Ini akan mengurangi tenaga yang dibutuhkan. Dan paling penting, makanan itu tidak banyak disentuh orang lain sebelum sampai di meja anak-anak. Ini faktor higienitas.

Lalu anak-anak wajib cuci tangan dulu, untuk mendidik anak belajar hidup bersih. Setelah itu anak-anak harus antre secara teratur dan tertib mengambil makanannya.

Tentu hal sepele itu bermakna besar karena ini pelajaran ketertiban dan membangun budaya antre sejak dini. Bukan budaya saling serobot. Pelajaran antre untuk makan itu tentu akan otomatis dilakukan di saat mereka di luar acara makan. Antre di jalanan, antre masuk keluar lift, dan sebagainya.

Rasa solidaritas dibangun dengan menumbuhkan kesadaran anak-anak yang secara sukarela, tanpa disuruh atau  diminta, untuk membantu rekannya yang tidak bisa antre, karena sakit atau cacat misalnya. Itu juga menanamkan jiwa tolong-menolong membantu sesama. Walaupun  hanya sepele, tetapi itu mengajarkan perbuatan baik yang harus dibiasakan.

Berdoa bersama sesuai agama dan keyakinan masing-masing sebelum makan, juga akan menjadi pelajaran penting dan kebiasaan baik. Tentang kebersamaan dan toleransi dalam perbedaan.

Pelajaran etika-etika atau adab-adab makan juga perlu disisipkan. Misalnya, pada saat mengunyah makanan tidak boleh kunyahan menimbulkan suara. Mulut ditutup saat mengunyah.

Saya punya pengalaman, di kalangan orang dewasa pun banyak yang pada saat mengunyah makanannya menimbulkan bunyi seperti suara kucing lagi makan atau minum. Sungguh tidak sopan dan tidak nyaman bagi yang tidak terbiasa.

Pada saat makan, berbicara sebaiknya dikurangi seminimal mungkin. Apalagi kalau berbicara dalam keadaan mulut penuh makanan, tentu tidak sopan. Juga kadang tidak jelas terdengar apa yang dikatakan.

Saya suka memperhatikan perilaku-perilaku seperti itu. Bahkan saya sering menemukan orang di suatu pesta, makan sambil cerita. Sendok, garpu, bahkan pisau di tangannya ikut terayun-ayun sesuai gerakan tangannya.

Sungguh mengerikan kalau tiba-tiba pisau makan itu terlepas. Bisa mengenai orang lain, atau percikannya mengotori pakaian orang lain.

Rekayasa sosio-kultural itu tentu belum berakhir sampai di situ. Setelah makan, Anak-anak diajari berdoa, bersyukur dan berterima kasih dapat mengonsumsi makanan bergizi pada hari itu. Anak-anak kemudian dididik mengurus sendiri wadah makannya setelah selesai makan. Nilai kemandirian ditancapkan.

Didikan lain yang tak kalah pentingnya menyertai program makan gratis itu, ialah kebiasaan tahu diri dan tidak serakah. Diajarkan kemampuan makan dan membangun kebiasaan menghabiskan makanan. Kalau kira-kira jatah makan tidak bisa dihabisi, sebaiknya dari awal disishkan dulu. Jangan langsung dihajar, lalu akhirnya tersisa.

Bayangkan kalau setiap anak menyisakan satu sendok saja makanannya. Dengan jangkauan program 8,9 juta anak, berarti akan ada 8,9 juta sendok makanan tersisa untuk sekali makan.

Hitung saja betapa besar kemubaziran yang terjadi dalam setahun. Ya 8,9 juta sendok dikali 24 hari sebulan dikali 12 bulan dalam setahun. Itu sama dengan sekitar 2,6 miliar sendok makanan tersisa dalam setahun.

Jika kemubaziran itu dapat dicegah, pasti akan terjadi efisiensi dan efektivitas anggaran dari Rp 71 triliun setahun bujet makan gratis tersebut. Ini rekayasa sosio-kultural yang berdampak ekonomis secara signifikan.

Melalui program makan bergizi gratis ini yang diparalelkan rekayasa sosio-kultural, tanpa sadar akan sekaligus membangun karakter bangsa yang hemat, beradab, berbudaya, bersyukur, mandiri, dan tidak serakah dan saling serobot.

Satu syarat yang wajib dijaga, rantai proses pengadaan bahan, produksi sampai deliverynya, tidak ditumpangi kepentingan pribadi. Semisal mark-up harga, mark-down volume, dan segala macam praktik kongkalikong lainnya. Di sini titik rawannya. Sebagaimana program bantuan sosial lainnya, dikorupsi.

Artikel ini telah tayang di edisi cetak Tribun Timur, Selasa 7 Januari 2025.

Tag