KOLOM ANDI SURUJI : Ketika Anak Gen Z Ogah Jadi Pegawai Negeri - Celebesmedia

KOLOM ANDI SURUJI : Ketika Anak Gen Z Ogah Jadi Pegawai Negeri

Andi Suruji - 02 June 2022 09:11 WIB

RATUSAN calon pegawai negeri sipil atau aparatur sipil negara dikabarkan mengundurkan diri. Padahal mereka telah dinyatakan lulus dari seleksi penerimaan yang digelar tahun 2021.

Alasannya, gaji dan tunjangan kecil, tidak sesuai ekspektasi mereka. Karena itu mereka merasa kehilangan motivasi. Jumlah yang dilaporkan mundur lebih 100 orang.

Menurut data Badan Kepegawaian Negara, ada juga Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kontrak (PPPK) untuk formasi guru dan non-guru yang mengurungkan niatnya bekerja di pemerintahan itu. Jumlah mereka lebih banyak lagi, 442 orang.

Tentu saja berita ini menjadi isu nasional. Ratusan ribu, bahkan mungkin bilangan jutaan orang lainnya berharap dan berebut bisa menjadi pegawai yang mendapat gaji dari negara. Di tengah sulitnya mendapat pekerjaan tetap. Eee ada yang mengundurkan diri justru setelah mereka dinyatakan lulus seleksi.

Bukankah menjadi pegawai negeri bisa hidup enak. Malas rajin sama saja. Kerja seadanya berharap dapat gaji dan tunjangan sepenuhnya. Bahkan kelak ada uang pensiun seumur hidup yang akan ditanggung negara.

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Tjahjo Kumolo tentu berkepentingan merespon fenomena mundurnya sejumlah calon pegawai negara itu.

Kata aktivis pada eranya, menjadi pegawai negeri sipil adalah suatu panggilan pengabdian kepada negara. Prinsip pengabdian adalah apa yang dapat mereka berikan kepada negara, bukan sebaliknya.

"Konsekuensinya gaji relatif kecil sebagai insentif. Namun menurut saya, dengan adanya tunjangan kinerja atau tambahan penghasilan pegawai era sekarang, total sudah mengimbangi swasta bahkan lebih besar karena di atas UMR (upah minimum regional)," katanya, seperti dikutip Kompas.com.

Tetapi Tjahjo juga akui, saat ini orang yang tertarik menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) semakin minim. Faktor penyebabnya, konsep kerjanya tidak mengikuti era generasi milenial yang lebih fleksibel.

"Seiring dengan waktu, jiwa pengabdian sebagai ASN ini makin terasa menurun. Konsep pembinaan pegawai tempo dulu yang menjamin jenjang karir hingga jabatan tertinggi, sudah tak sepenuhnya relevan," katanya.

Itu betul. Zaman memang berubah. Generasi milenial merasa asing dengan konsep pengabdian ini. Tidak logis bagi mereka.

Pengabdian bisa terbangun jika dibarengi sistem remunerasi dan kejelasan masa depan karir. Ketika sistem kerja, remunerasi, dan karir tidak jelas, maka jangan heran jika pegawai negeri berusaha mencari tambahan penghasilan. Menjadi pegawai negeri hanya sebagai status sosial.

Mereka berpakaian seragam datang ke kantor bekerja, tetapi lebih banyak mengerjakan side job.   Menjalankan bisnis online sebagai reseller misalnya, untuk mendapatkan tambahan penghasilan. Bisa lebih besar dibanding gajinya sebulan sebagai pegawai negeri.

Sebenarnya, perilaku ini juga tergolong perilaku korup. Ya korupsi waktu. Tetapi itu masih lebih baik dibanding perilaku yang memang di kepalanya cuma memikirkan segala macam modus operandi, mengakali anggaran agar sebagian mengalir ke kantor pribadi.

Morning Consult, sebagaimana dikutip CNBC, 70% Gen Z (generasi sesudah kelompok usia milenial) memprioritaskan gaji yang layak. Sebanyak 60% Gen Z memprioritaskan karier yang sukses.

Gen Z, Gen Y (milenial) dan Gen X, semua pengguna internet. Menurut sebuah penelitian, Gen Z (generasi mobile), sekitar 93,9% terkoneksi ke internet. Dikategorikan sebagai addicted user yang menggunakan internet tujuh jam per hari.

Gen Y atau milenial (generasi internet), sekitar 88,4% terkoneksi internet, dikategorikan heavy user. Menggunakan internet sekitar 4-6 jam sehari. Sementara Gen X (Digital Immigrant), sebanyak 63,2% terkoneksi internet. Dikategorikan medium user dengan menggunakan internet 1-3 jam pernah hari.

Internet adalah nafas kehidupan generasi mereka. Dengan internet mereka bisa lebih produktif berkarya, menghasilkan uang, independen, dan happy.

Saya pernah diantar seorang sopir angkutan online di Jakarta yang masih muda. Penampilan necis, pakaian rapih. Saya kira mahasiswa, ternyata sarjana teknologi informasi.

Dia mengaku pernah kerja di salah satu perusahaan. Gajinya sekitar tujuh juta. Dia tinggalkan, dan mendaftar sebagai sopir angkutan online. Tetapi itu hanya untuk mencari uang bahan bakar dan makan serta angsuran cicilan mobilnya.

Penghasilan utamanya dari mengerjakan  pekerjaan terkait TI, yang disubkontrakkan pihak lain. Pekerjaan itu dapat dikerjakannya sendiri di mana saja. Makanya ia selalu membawa laptop di mobilnya.

Penghasilannya? "Lebih dari cukup Pak. Bisa nabung malah asal pandai berhemat," katanya.

Itu kan tidak terjamin kontinuitasnya. "Awalnya memang cemas-cemas juga. Tetapi setelah ada pengalaman, sudah ada portofolio, ada saja tawaran yang datang. Orang seperti saya ini banyak, sudah kayak jaringan, saling tahu, bertukar info, dan saling cari kalau ada tawaran kerjaan," paparnya.

Di zaman serba internet ini, cerita "pengabdian" pegawai negeri, dan heroisme "apa yang kamu berikan kepada negara" perlu dirumuskan ulang. Strategi pengelolaan pegawai negeri, dari rekrutmen, jenjang karier, remunerasi, sistem reward dan punishment, mendesak untuk diformulasi kembali.

Tag