Selebrasi juara bagi PSM Makassar dan para fansnya, sudah berlalu. Namun hingga kini, terkadang peristiwa historik dan heroik itu masih menjadi bahan diskusi di warung kopi, atau di grup-grup whatsapp.
Luar biasa memang. Wajar saja mereka bersuka cita. Tim Juku Eja akhirnya meraih juara kasta tertinggi sepakbola nasional. Dua puluh tiga tahun lamanya kerinduan mereka baru terobati.
Betapa dalamnya rindu itu terpendam. Dengarlah nyanyian para suporter yang menggema di stadion, membuat bulu kuduk merinding sebagai pembakar semangat
... sejarah berbicara.... kami rindu di masa itu... Pada syair lain : jangan takut, kami selalu ada atau : dan kuyakin kau pasti bisa.... Luar biasa syair-syair itu. Tak ubahnya doa-doa yang dilantunkan di medan perang...
Selain gelar juara bagi tim, PSM juga mengukir prestasi lain. Bernardo Tavares dinobatkan sebagai pelatih terbaik. Sang Kapten William Jan Pluim, meraih gelar pemain terbaik.
Tidak ada debat untuk dua gelar individual itu. Pemerhati sepak bola paham berapa terseoknya PSM pada akhir musim kompetisi 2021-2022. Nyaris degradasi.
Tavares datang dari Portugal untuk menukangi anak-anak Ramang, legenda PSM, sepakbola nasional. Tidak mudah. PSM krisis pemain.
Tavares tak ubahnya sopir yang di negaranya terbiasa mengemudi dengan stir kiri. Melaju di jalur kanan. Tiba di Makassar, ia harus mengemudi dengan stir sebelah kanan. Melaju di jalur kiri pada jalan-jalan yang asing baginya.
Tavares bukan pelatih cengeng. Ia menerima kondisi PSM apa adanya. Termasuk tidak adanya stadion tempat PSM bermarkas. Juga tanpa lapangan tertutup untuk berlatih dan mengatur strategi tim.
Justru dalam kondisi demikian, ia menggembleng pemain muda lokal. Membakar semangat mereka untuk mengangkat harga diri, harkat dan martabat. Yaitu siri' na pacce, sebagaimana falsafah manusia Makassar yang tertulis di punggung jersey mereka.
Beberapa pemain muda lokal memang menunjukkan prestasi menakjubkan. Bahkan, sebagaimana tradisi sejak era Ramang, PSM memasok pemain ke tim nasional.
Kepada pemain-pemain muda inilah saya tujukan tulisan ini. Dengan gelar juara Liga 1 PSM mereka akan menjadi bintang dalam masyarakat. Dalam kehidupan dan aktivitas sehari-hari.
Anda menjadi bintang. Masyarakat akan senang menyapa, bahkan berfoto dengan mereka.
Tidak tertutup kemungkinan banyak klub lain yang mengincar. Menawarkan untuk pemain pindah meninggalkan PSM dan bergabung dengan klub lain.
Memang hak setiap pemain memilih klub untuk berkarier. Tetapi jangan dulu terlalu percaya diri berlebihan. Kinerja seorang pemain bukanlah performa individu semata. PSM juara tentu karena kinerja tim. Ada pelatih, ada kapten, ada rekan kerja di lapangan, yang turut menentukan kinerja seorang pemain.
Para pemain muda sebaiknya jangan terlalu cepat tergiur dengan tawaran klub lain. Akan jauh lebih hebat, jika pemain-pemain muda itu bertahan untuk membela panji PSM dan mempertahankan gelar juara itu.
Mempertahankan gelar juara tentu jauh lebih berat daripada merebutnya. Maka bertahan di PSM, meningkatkan kemampuan individual dan kerjasama tim, akan jauh lebih baik. Lebih heroik.
Pemain muda PSM tentu perlu belajar banyak kepada Sang Kapten, Pluim. Ia seorang pemain dengan keterampilan bermain yang baik. Ia seorang motivator di lapangan untuk menjaga semangat berjuang jangan terpuruk.
Ia seorang pemain yang tidak egois dan serakah. Ia justru lebih banyak mengorganisir tim untuk menciptakan peluang.
Stadion Gelora BJ Habibie Parepare saksinya. Masih jelas teringat dalam pertandingan terakhir melawan Borneo FC. Pluim yang membawa bola dari bawah, melampaui dua pemain pertahanan lawan.
Berhadapan dengan kiper, Pluim punya kans untuk menambah catatan golnya. Tetapi ruang tembak sempit, sehingga ia menyontek bola ke luar menuju Sayuri.
Di sana Sayuri berada di posisi dan ruang tembak yang lebar. Ia pun melakukan syuting pada kesempatan pertama. Gol...
Itulah pemain sejati. Tidak serakah, tidak egois. Tetapi mementingkan hasil akhir bagi tim. Siapa pun yang mencerahkan gol.
Pemain muda PSM haruslah banyak belajar pada Pluim. Berbagai tawaran ditampiknya. Ia setia pada klubnya. Enam tahun berjuang, membela PSM dan akhirnya berhasil membawa PSM juara sebagai kapten dan pemain terbaik.
Anak-anak muda PSM jangan sampai mengidap "Star Syndrom" atau sindrom bintang. Karena PSM juara, lalu merasa dirinya seperti bintang yang meroket di langit. Pasti banyak mengincar. Tetapi pikir secara matang, berbagai faktor, sehingga PSM bisa juara. Belum tentu faktor-faltor itu ada di klub lain...
Ewako...!