KOLOM ANDI SURUJI: Pulang Betul-mi Pak Alwi - Celebesmedia

KOLOM ANDI SURUJI: Pulang Betul-mi Pak Alwi

Andi Suruji - 19 January 2025 11:35 WIB

HARI masih pagi, Sabtu 18 Januari 2025.

Berita Pak Alwi Hamu meninggal bertebaran.

Hampir semua grup WhatsApp mengabarkannya.

Itu menandakan ketokohannya.

Jejak luasnya pergaulan dan jangkauan silaturrahim yang dia bangun semasa hidupnya.

Muhammad Alwi namanya, lahir di Parepare 28 Juli 1944.

Ayahnya bernama Haji Muhammad Syata, orang Sidrap. 

Itulah sebabnya kata Hamu di belakang nama Alwi adalah akronim dari Haji Muhammad.

Era mudanya, jurnalis dan seniman di Makassar memang umumnya menyingkat namanya.

Seperti halnya wartawan dan seniman Rahman Arge.

Namya Abdul Rahman. Kata Arge adalah akronim dari Abdul Rahman Gega.

Alwi merupakan aktivis pejuang mahasiswa lewat Himpunan Mahasiswa Islam.

Juga Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia yang militan.

Semasa mahasiswa mendirikan koran untuk mendulung perjuangannya bersama Pak JK, Pak Aksa dan rekan-rekannya.

Pak Aksa harus ditahan aparat TNI gara-gara pemberitaannya. 

Bersama Pak Jusuf Kalla, Pak Aksa Mahmud dan rekan-rekan seperjuangannya, Pak Alwi menerobos masuk Gedung Parlemen Jakarta.

Boleh dikata Pak Alwi, Pak JK dan Pak Aksa adalah tiga serangkai.

Seperjuangan sejak mahasiswa, berorganisasi, sampai membangun usaha.

Pak JK menjadi Wakil Presiden dua kali pun mereka selalu berada di lingkaran terdalam Pak JK.

Hingga kini. 

Pak Alwi sangat istimewa di mata dan hati Pak JK maupun Pak Aksa.

Pak Alwi dipanggil Daeng oleh keduanya walaupun tidak berhubungan darah.

Biasanya kakak yang ada hubungan darah atau keturunanlah yang dipanggil Daeng di kalangan orang Bugis.

Pak JK orang Bugis Bone, Pak Alwi Bugis Si­denreng Rappang, dan Pak Aksa orang Bugis Barru.

Mereka disatukan dalam satu idealisme perjuangan.

Mereka ingin melihat daerah Sulawesi Selatan berkembang dan maju se­jah­tera masyarakatnya seperti daerah lain Indonesia.

Membangun usaha sendiri pun, bukan usaha eksisting Hadji Kalla, mereka memulainya bertiga.

Sewaktu mendapatkan hak menjual mobil Toyota yang diimpor langsung dari Jepang, modalnya dari Pak JK (NV Hadji Kalla).

Pak Alwi kebagian tugas mengecat mobil impor itu.

Pak Aksa bagian sales dan marketing.

"Alwi itu seniman, pintar melukis-lukis jadi dia bagian cat. Aksa memang jago jualan, marketing, sama menagih dan cari modal," kata Pak JK suatu saat.

Dalam perjalanan waktu, Pak Alwi dan Pak Aksa membangun sendiri usahanya di Makassar yang kemudian membesar.

Pak Aksa mendirikan CV Moneter 1973 kemudian berganti nama menjadi Bosowa.

Pak Alwi mendirikan Fajar Group.

Kalla, Bosowa, Fajar, kemudian berkembang dan membesar menjadi aset perekonomian nasional. 

Keberhasilan mereka bertiga, dapat dilihat jum­lah perusahaan mereka yang bertebaran di nusantara.

Setidaknya Wisma Kalla, Menara Bosowa, dan Graha Pena adalah gedung tinggi dan landmark Kota Makassar sekaligus simbol keberhasilan perjuangan keras membangun usaha.

Mereka pun menjadi panutan pengusaha.

Merunut catatan masa lampau sekitar 30 tahun silam ketika Pak Alwi masih mengurus langsung korannya Harian Fajar, saya sebagai wartawan muda, memverifikasi suatu informasi mengenai koran Fajar kepada Pak Alwi.

Dia tidak mau menjawab.

Malah saya dipanggil ke kantornya, di Jalan Ahmad Yani, Makassar.

Saya merasa terhormat.

Di ruang kerjanya, kami cuma berdua.

Ia pun menceritakan panjang lebar masalahnya.

"Cerita ini benar. Tetapi walaupun benar, tidak bijaksana jika kau tulis di koranmu. Karena akan membuka aib orang dan mempermalukannya," katanya, dalam bahasa Bugis.

Kata-kata Pak Alwi itu melekat betul dalam ingatan saya.

Prinsip ini saya pegang selama karier panjang saya sebagai jurnalis.

Bahwa informasi yang benar belum tentu bijaksana.

Saya bersyukur bisa dekat dengan Pak Alwi, Pak JK dan Pak Aksa.

Ada rasa nyaman dan tenteram berada di dekatnya, walaupun tidak setiap saat.

Satu kesamaan perlakuan mereka yang saya alami, yakni memeluk pundak atau menggandeng tangan saat berjalan bersamanya.

Simbol kehangatan, kekeluargaan dan persahabatan yang tak terucapkan, tetapi terasa mendalam.

Di antara mereka, Pak JK, Pak Alwi, Pak Aksa, dan sahabat-sahabat dekatnya, ada anekdot bahwa Daeng (Pak Alwi) itu terbang kemana-mana,  hanya "pergi" terus tetapi tidak mengenal kata pulang.

Itu karena banyaknya urusan dan usaha media Pak Alwi, bertebaran di banyak kota, yang harus dikunjungi.

Dan setiap kota dimana ada medianya juga dianggapnya rumah dan awak medianya adalah keluarganya.

Akan tetapi, kali ini Pak Alwi sekaligus pergi dan pulang betul mi.

Pergi meninggalkan dunia yang fana.

Pulang yang sebenar-benarnya pulang. Berpulang ke Rahmatullah.

Selamat jalan Daeng Alwi.

Terima kasih nasihat dan persahabatan kita.

Tulisan ini telah dimuat sebelumnya di Tribun-Timur.com (Minggu, 19 Januari 2025)

Tag