KOLOM ANDI SURUJI: Sadikin Aksa: We Did It...
WE did it... Itulah komentar pendek Sadikin Aksa, Direktur Utama PT PSM, ketika saya mengirimkan ucapan syukur "alhamdulillah" selepas Willem Jan Pluim cs menuntaskan misinya, mengalahkan Madura United untuk meraih tiga poin sekaligus memastikan gelar juaranya.
Seperti biasa, sebagai Komisaris, saya selalu mengirimkan kalimat pendek "bismillah" kepadanya setiap kali PSM mau bertanding. Begitu pula setelah pertandingan, saya kirimi alhamdulillah.
Itu sebagai tanda rasa syukur pertandingan dapat diselesaikan dengan selamat oleh tim. Terlepas apa pun hasilnya. Hanya untuk saling menguatkan.
Sadikin dan saya, sama-sama tegangnya kalau menonton PSM bertanding. Sadikin mengatasi ketegangannya dengan berjalan ke berbagai sudut stadion, tidak mau duduk menyaksikan pertandingan. Kadang baru mau duduk kalau pintu stadion sudah ditutup, dan mengambil tempat di pojok-pojok stadion tanpa kelihatan dan sorot kamera.
Menjelang shalat subuh hari itu, Sadikin mengirimkan pesan : saya masih belum percaya kita bisa bawa PSM juara.
Saya maklumi perasaannya. Banyak yang meragukan PSM dapat berkinerja amat bagus pada musim kompetisi 2022-2023 ini. Selama putaran pertama, PSM hanya sekali kalah. Putaran kedua juga sekali kalah sampai memastikan diri menjuarai kompetisi yang penuh tantangan dan kendala.
Apalagi musim kompetisi sebelumnya, PSM nyaris degradasi. Hampir terdepak turun ke Liga 2. Padahal, pencinta PSM selalu mengklaim tim ini memiliki tradisi juara.
Memasuki musim laga 2022-2023, PSM boleh dibilang mengalami krisis segalanya. Ya pemain, pelatih, dan segala pendukungnya. Bahkan stadion pun tak punya karena Mattoanging telah dirobohkan.
Banyak yang meragukan PSM. Masuk 10 besar pun sudah sangat baik. Sungguh berat beban manajemen PSM. Di tengah pesta pora tim-tim lain belanja pemain, PSM boleh dibilang harus puasa karena keterbatasan finansial. Tetapi ada blessing, hikmah, kesempatan untuk merekrut dan mengangkat anak lokal.
Dalam kondisi gamang, "Pasukan Ramang" terancam pula kembali menjadi tim musafir karena tidak punya stadion yang representatif sebagai home base.
Terima kasih PSM kepada Taufan Pawe, Walikota Parepare dan warga Kota Cinta yang membuka hati menjadikan stadionnya untuk rumah PSM. Semula banyak orang yang skeptis, bahkan apriori menanggapi keinginan Taufan Pawe.
Tidak sedikit yang bilang keinginan Taufan Pawe menjadikan Stadion Gelora BJ Habibie sebagai home base PSM tak ubahnya janji politik politisi Ketua Golkar Sulsel itu. Tetapi ia terus bergerak sesuai kemampuannya. Mengerahkan segala sumber daya yang dimiliki bersama-sama manajemen PSM, Munafri Arifuddin dan Sadikin Aksa.
Bersamaan dengan pembenahan stadion, kondisi tim yang belum solid, pemilik saham PSM Sadikin Aksa mengambil alih kepemimpinan PSM. Ia ingin incharge langsung menggantikan Munafri Arifuddin sebagai Direktur Utama. Munafri kemudian terpilih jadi Direktur PT LIB.
Banyak suara sumbang yang menggempur telinganya. Ia tidak tutup telinga tetapi membuka telinga, mata dan hati untuk melihat dan menyelami kondisi riil PSM. Selama ini Sadikin lebih suka bekerja di belakang layar, tidak nyaman dan tidak suka selalu tampil. Diwawancarai media saja baru mau kalau penting dan perlu.
Pengelolaan pertandingan pun di benahi. Karena di sana begitu banyak lubang kerusakan. Sistem ticketing dibenahi. Penjualan dapat dikendalikan dan dimonitor secara real time. Melalui handphone. Berapa yang laku, sektor-sektor mana yang laku dan belum terjual.
Orang-orang profesional diajak membantu. Mereka orang-orang berpengalaman mengelola event besar. Hasilnya positif, berbagai kekurangan dan kelemahan, perlahan namun pasti dapat ditutupi.
Kalangan pemain dan pengurus, menyambut baik kehadiran Sadikin selaku Direktur Utama yang berarti tidak lagi bekerja di belakang layar. Akan tetapi turun tangan langsung menyertai tim dalam kondisi apa pun dan segera ada solusi bilamana ada masalah.
Lagi-lagi kepemimpinan Sadikin tampak jelas. Jabatan manajer tim diberikan kepada orang lain. Ia tidak mau duduk di bench. Urusan pemain dan strategi sepenuhnya diserahkan kepada pelatih.
Bernardo Tavares pun nyaman, dan meyakinkan Sadikin dalam perekrutan pemain muda. Beberapa pemain muda belia direkrut Tavares. "Yakin Sadikin. Saya bisa bentuk ini anak," ujar Tavares ketika hendak merekrut pemain muda. Sadikin sepakat.
Banyak pengamat yang kemudian mengakui keberanian Tavares mengombinasikan pemain muda sekali dan senior. Ibarat sopir Eropa yang stir kiri, datang ke Makassar tanpa pengetahuan karakter jalan dan lapangan, mengemudi dengan stir kanan pula.
Tentu itu suatu tantangan yang tidak mudah bagi Tavares. Peran Sang Kapten Willem Jan Pluim yang menjadi dirigen lapangan, mengatur serangan dan pertahanan menjadi pas dengan strategi Tavares. Motivasi pemain muda itu pun menggelora terbangun dalam menyerang dan mengawal setiap jengkal pertahanannya. Kebobolan gawang pun minim.
Sayangnya, di tengah pembenahan manajerial internal dan pengelolaan pertandingan yang semakin profesional, terjadi peristiwa Stadion Kanjuruhan yang membuat semua berantakan.
Pertandingan dihentikan, dilanjutkan dengan pertandingan tanpa penonton, memberi pukulan keras bagi sepakbola nasional. Bertubi-tubi bagi PSM.
Terlihat kepemimpinan Sadikin cukup kuat. Ia selalu memberi semangat kepada tim manajemen, pelatih dan pemain agar menerima kondisi yang ada. Keputusasaan hanya akan melemahkan semangat untuk memperbaiki sepakbola nasional, khususnya bagi PSM sendiri.
Karena itu pembenahan internal terus dilakukan. Roadmap pengelolaan PSM ke depan yang semakin profesional tetap dijalankan. Dalam situasi yang kurang menentu, dia bangun optimisme. Tanpa pidato yang berapi-api, karena memang tidak suka bicara.
Tetapi kehadiran dan candanya maupun pelukannya kepada pemain adalah bahasa yang tulus, motivasi besar bagi pemain untuk menegakkan harga diri. Walaupun saya tahu berdarah-darah otaknya memikirkan bagaimana memenuhi kebutuhan finansial tim.
"Suasana batinnya ini anak-anak harus kita jaga," ujarnya ketika kompetisi dilanjutkan kembali.
Tim yang tidak bertabur bintang, tidak punya stadion, adalah motivasi besar juga bagi anak-anak PSM untuk membuktikan lagu suporter, "rebut kembali kejayaan itu". Dan salah satu kekuatan PSM adalah pemain nomor punggung 12 alias suporter yang tidak kenal lelah mendatangi stadion untuk memberikan dukungan moralnya dari luar lapangan.
Walaupun mereka hanya mampu naik motor, naik bentor bahkan berdiri berdesakan di truk terbuka menempuh jarak lebih 150 kilometer dari domisilinya ke Stadion Gelora BJ Habibie di Parepare, markas PSM. Semua karena sama-sama mencintai PSM, klub tertua di Asia.
Di tangan Sadikin yang dingin, puasa juara 23 tahun PSM terbayar sudah. Kerinduan dan penantian panjang suporter dan warga Sulawesi Selatan pun terobati. Ewako...!