PSM dan Tradisi Regenerasi Gen Bola dari Ramang sampai Asnawi
DISKUSI bola, tentang sepakbola di Tanah Air, memang tidak bisa lepas dari bicara eksistensi PSM Makassar, klub sepakbola tertua di Asia menurut informasi yang pernah dimuat laman organisasi sepakbola sejagad FIFA.
Begitu juga kehangatan diskusi bola belakangan ini sehubungan dengan performa Timnas Indonesia di ajang Piala AFF 2020 menjelang puncak kompetisi. Thailand yang akan dihadapi Indonesia, sudah mengukuhkan diri lima kali juara. Sementara Indonesia juga sudah lima kali finis di posisi runner-up.
Wajar jika harapan masyarakat Indonesia, khususnya para pencinta sepakbola, menaruh harapan besar kesebelasan Indonesia berhasil meraih mahkota juara kali ini. Inilah momentum terbaik, ketika performa dari sisi skill dan fisik baik individu maupun secara tim Indonesia mengalami progres yang signifikan. Terutama setelah diarsiteki pelatih asal Korea Selatan Shin Tae-yong.
Di Timnas Indonesia ada pula anak-anak kandung sepakbola PSM Makassar. Asnawi Mangkualam yang dipercaya sebagai Kapten Tim. Ia pernah memperkuat tim Juku Eja, walaupun saat ini bermain untuk klub Ansan Greeners Korsel.
Ada juga Irfan Jaya, anak Bantaeng yang pernah diasuh PSM di tangan pelatih asal Belanda, Robert Albert. Nasib yang menentukan lain, ketika ia mengabaikan nasihat pelatih untuk bersabar menunggu sesaat untuk dipromosikan ke PSM Senior.
Dua pemain inti dalam suatu tim yang berasal dari satu wilayah sudah lebih dari cukup untuk sebuah tim nasional. Itulah tradisi historik PSM Makassar. Selain menggenggam tradisi juara nasional, tak kalah pentingnya ialah perannya sebagai kontributor utama pemain untuk tim nasional. Dari dulu sampai sekarang, bahkan kelak selamanya.
Bukan sekadar asal memasok, tetapi yang dipasok selalu menjadi pemain utama dan kunci tim. Tradisi ini berlangsung sejak era legenda sepakbola nasional almarhum Ramang mewakili generasi perang, Ronny Pattinasarani yang mungkin generasi baby boomer, sampai generasi millenial Asnawi dan Irfan.
Di PSM Makassar atau Sulawesi Selatan, tradisi pesepakbola melahirkan generasi pesepakbola juga mengakar begitu kuat. Regenerasi genetika itu terus berlanjut sejak Ramang sampai Asnawi.
Siapa yang tidak kenal nama besar Ramang di dunia sepakbola Tanah Air. Ramang identik dengan PSM sang Juku Eja. Ramang melekat dan terpatri dalam sejarah keemasan sepakbola nasional.
Semangat striker berbahaya Ramang bersama Maulwy Saelan semangat kiper adalah dua anak Makassar yang pernah memperkuat tim nasional dalam ajang bergengsi Olimpiade Melbourne Australia 1956. Timnas Indonesia yang underdog berhasil menahan Rusia yang jauh lebih unggul tanpa gol. Peristiwa itu membuat heboh jagat kulit bundar. Sampai sekarang manisnya cerita prestasi kala itu masih terasa. Ramang cs finis di babak perempat final.
Di Makassar atau di mana pun Ramang bermain, menurut cerita orang tua, kantor-kantor pun libur untuk memberi kesempatan pegawai dan anak-anak menonton legenda yang inspiratif itu. Sampai anak-anak pun menyebut dirinya sebagai Ramang saat bermain bola.
Orang-orang kampung memasang radio transistor dan mendengarkan siaran reportase Radio Republik Indonesia tentang jalannya pertandingan PSM dan Ramang. Belum ada pesawat televisi di pelosok negeri kala itu. Apalagi streaming video seperti sekarang.
Kopi dan gorengan atau kacang rebus menemani pendengar yang berkerumun serius mendengarkan siaran radio. Demikian besarnya perhatian publik dan begitu besarnya nama Ramang yang bertubuh kecil.
Dari gen Ramang lahir generasi pesepakbola Rauf Ramang, Anwar Ramang, dan Arsjad Ramang. Lebih hebat lagi, Ramang dan dua anaknya Rauf dan Anwar pernah bermain satu tim, yakni PSAD. Ramang sebagai striker, Anwar sayap kanan dan Rauf di belakang. Kendati prestasinya tidak sekinclong Ramang, Anwar Ramang juga pernah memperkuat tim nasional PSSI Junior.
Beberapa pemain PSM lainnya, juga melahirkan pesepakbola. Nadjib Latandang dan Musdan Latandang, dua pemain PSM juga lahir dari ayah pesepakbola, Latandang. Mantan pemain PSM juga. Kamaluddin pun demikian. Dua anaknya, Karman dan Kusnadi mengikuti jejaknya.
Satu tradisi lain di PSM, dalam tim selalu ada pemain berdarah Ambon. Di masa lampau, Nus Pattinasarani melahirkan dua pemain bola juga. Ronny Pattinasarani dan Donny Pattinasarani. Ronny selain pernah bermain di PSM, kariernya juga berkibar sebagai pemain tim nasional hingga menjadi pelatih sejumlah klub sepakbola.
Jika kita kepincut Asnawi Mangkualam yang heboh dengan aksinya di lapangan, baik pada saat bermain maupun yang terakhir mendatangi dan berlutut di hadapan Faris yang gagal mengeksekusi pinalti, pun demikian.
Ia adalah anak Bahar Muharram. Pelatih PSM sampai detik ini. Bahar Muharram selalu mendapat tepuk tangan meriah penonton di Stadion Mattoanging ketika namanya diumumkan oleh announcer dalam susunan pemain PSM. Ia termasuk pemain yang memperkuat PSM ketika berhasil meraih Piala Perserikatan PSSI tahun 1992 di Stadion Utama Senayan.
Berpostur tidak tinggi, tetapi waspada berhadapan dengannya. Ia punya prinsip menjaga setiap jengkal wilayahnya dari serangan lawan. Kadang ia nakal, mengganggu kaki lawan, walaupun tak berniat mencederai lawan. Hanya untuk mematahkan serangan. Iya to Pak Aji...