Di Pesta Demokrasi Indonesia, Silent Voter Berpotensi Menjadi Silent Killer

Warga Makassar mengunakan hak pilihnya, Rabu (17/4/2019) - (foto by Pitto)

CELEBESMEDIA.ID, Jakarta - Keberhasilan pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) di suatu negara yang sedang berpesta demokrasi, tak pernah bisa dilepaskan dari ketiadaan badai politik yang menerpa. Sayangnya riak-riak kecil yang terbiarkan kerap kali justru menjadi tsunami besar yang meluluhlantakan tatanan dan tujuan yang telah ditetapkan.

Dirilis CELEBESMEDIA.ID dari LKBN Antara, silent voters berpotensi menjelma menjadi riak kecil yang mampu membalikkan keadaan menjadi tak terprediksi. Selama ini, banyak orang bahkan tim sukses dalam suatu pemenangan mengabaikan fenomena yang tak banyak orang memperhitungkan, yaitu silent voters. Padahal mereka para silent voters sangat mungkin mempengaruhi secara signifikan hasil akhir pemilihan umum yang diselenggarakan hari ini, Rabu (17/4/2019). Mereka yang condong sebagai silent voters cenderung tidak menampakkan preferensinya dan aras politik di dunia kerja mereka selama berada di lingkungan pergaulan.

Pengamat politik dari Universitas Paramadina dan pendiri lembaga survei KedaiKOPI Hendri Satrio mendefinisikan silent voters sebagai variabel yang tak terbaca namun bisa sangat mematikan. Ia sangat mungkin mengubah konstelasi politik yang diramalkan banyak orang sebelumnya.

Mereka, para silent voters biasanya memisahkan antara ekspresi politik dan profesionalitas di dunia kerja tapi mereka sendiri cukup aktif di media sosial. Masyarakat sendiri sebenarnya dapat terus mendengar perbincangan terkait preferensi politik di sekitar mereka. Mereka tidak mengekspresikan secara terbuka tapi mereka punya kecenderungan untuk memilih salah satu dan sedang mengakumulasi pengetahuan dan keyakinan untuk memilih.

Mereka yang hening ini membuat potensi untuk memenangkan pemilu menjadi sama-sama kuat, 50-50. Masing-masing memiliki potensi sama besar selama konstituen terus membicarakan tentang diri, visi-misi, dan program mereka.


Edukasi Politik

Silent voter memang telah membuat peta politik menjadi sulit untuk dibaca dengan jelas. Sebab para silent voters juga potensial menjadi swing voter bahkan golput sekalipun. Namun mereka bisa dihadirkan dalam kehidupan berdemokrasi melalui edukasi politik yang mencerdaskan. Sebab sekecil apapun dampak preferensi silent voters sangat tidak terprediksi sehingga terlampau sulit untuk menyiapkan antisipasi.

Diskusi politik yang muncul dalam berbagai situasi dan kondisi terutama di akar rumput sangat mungkin menggeser atau menguatkan pilihan mereka. Walaupun saat ini pemilihan sedang dan telah berlangsung namun pembahasan terkait preferensi tak pernah bisa terelakkan.

Perbincangan yang pada dasarnya menurut pengamat Hendri Satrio akan sangat mempengaruhi hasil di penghitungan KPU nanti. Perintis Gerakan Damai Nusantara Jappy M. Pellokila menekankan pentingnya sebuah edukasi politik kepada anggotanya sekaligus kepada seluruh kalangan masyarakat.

Menurut dia, apatisme yang kemudian berubah menjadi keputusan emosional di saat akhir ketika memilih akan sangat berbahaya bagi keberlanjutan masa depan bangsa ini. Terlebih dalam pemilu serentak 2019 yang tidak sekadar memilih presiden melainkan yang di dalamnya terjadi Pemilihan Anggota DPR (Pusat, Provinsi, Kabupaten dan Kota), Anggota Dewan Perwakilan Daerah.

Pihaknya pun tak pernah lepas melakukan edukasi politik untuk menyadarkan masyarakat dalam proses pesta demokrasi.Semua tahap tersebut, sekaligus merupakan proses yang telah, sementara, dan akan berlangsung untuk melengkapi 'pesta demokrasi' di Tanah Air.

Di ujung tahapan pesta demokrasi tersebut, nantinya menghasilkan sejumlah orang atau pun politisi di tingkat daerah dan pusat sebagai pemimpin dan wakil rakyat yang akan menentukan kemana arah bangsa ini.