KOLOM ANDI SURUJI: Dinamika Demokrat dan Golkar Sulsel

Ni'matullah, Ilham Arief Sirajuddin, Nurdin Halid, dan Taufan Pawe - (foto by instagram)

ILHAM Arief Sirajuddin mengambil langkah mengejutkan bagi banyak orang. Walaupun tidak demikian bagi sebagian besar politisi, khususnya di Sulawesi Selatan. 

Rekaman suaranya tentang keputusan meninggalkan Partai Demokrat beredar luas. Ia pindah ke Golkar. Alasannya, dirinya tidak diinginkan lagi memimpin Demokrat Sulsel.

Pernyataan hengkang itu beredar menjelang pelantikan kembali Ni'matullah sebagai Ketua DPD Demokrat, Sabtu lalu. 

Sebelumnya, Ilham maju menantang petahana Ni'matullah dalam musyawarah daerah partai berlambang mirip logo mobil mercy itu pada Desember 2021. Hasil Musda mengirim nama Ni'matullah dan Ilham ke DPP Demokrat. 

Tim DPP Demokrat menjatuhkan pilihan pada Ni'matullah. Ilham kecewa. Tidak ada penjelasan resmi DPP mengapa memilih Ni'matullah dan bukan Ilham. Padahal dalam Musda itu, Ilham unggul dengan dukungan 16 suara dibanding Ni'matullah yang hanya meraih 8 suara, dari total 24 DPC se-Sulsel.

Sejak pengiriman nama keduanya ke DPP, sudah beredar cerita bahwa kelak DPP akan menjatuhkan pilihan kepada Ni'matullah. DPP akan berlasan bahwa Ilham pernah tersandung kasus korupsi. 

Jika Ilham memimpin Demokrat, ia akan punya kans besar mencalonkan diri maju dalam pertarungan Pilgub. Itu rasional karena ia ketua partai, dan masih punya basis massa yang kuat. Salah satu indikatornya, perolehan suara dalam Musda Demokrat.

Selain itu, "nilai jual" Ilham masih direken banyak kalangan lebih tinggi dibanding kader Demokrat lainnya, termasuk Sang Ketua Ni'matullah. 

Kemelut internal Demokrat yang dihadapi Ilham, menurut cerita, karena memang ada pihak yang bekerja. Mereka ingin mengganjal agar manuver politik Ilham tidak mulus melaju menuju pertarungan Pilgub mendatang. Caranya, dia harus diganjal agar gagal merebut kursi nomor satu Demokrat Sulsel.

Jadi kisruh yang dihadapi Ni'matullah dan Ilham, sebenarnya bukan perseteruan keduanya. Ada "invisble hand" yang bekerja memaksakan Ni'matullah dan mengganjal Ilham. "Invisible hand" tersebut bekerja hingga DPP Demokrat. 

Waktu itu belum jelas apakah Ilham akan legowo menerima keputusan bahwa DPP tidak memilihnya untuk memimpin Demokrat. Atau Ilham akan kecewa, tidak menerima kenyataan itu lalu cabut dari Demokrat. 

Akan tetapi, belum ada juga yang berani menebak ke mana IAS melangkah jika ia kecewa dan hengkang. Ke Nasdem mungkin tidak. Alasannya, Ketua Nasdem Sulsel, Rusdi Masse juga disebut-sebut sebagai figur potensial maju bertarung di arena Pilgub. 

Apalagi kerja-kerja politik dan penggalangan massa oleh Nasdem di bawah komando Rusdi, terlihat nyata dan signifikan. Tentu terlalu murah jika Nasdem menggelar karpet merah buat Ilham. 

Pada akhirnya Ilham ke Golkar. Itu rumah tua yang pernah lama dihuninya. Sebagai anak purnawan polisi, organisasinya jelas. Garis politiknya tegak lurus ke Golkar sejak era Soehato. 

Apalagi tahun 2001, Ilham dilantik sebagai Ketua Partai Golkar Makassar. Ia pernah terpilih sebagai Anggota DPRD Sulawesi Selatan Fraksi Golkar, 1999-2004. Anggota DPRD Sulsel Fraksi Golkar, 1999-2004. Ilham juga pernah menduduki kursi Ketua DPD I Partai Golkar Sulsel (2011-2013).

Dengan beredarnya berita bahwa Ilham bertemu dengan Nurdin Halid dinilai memperjelas dua hal. Pertama, Ilham bakal kembali bernaung di bawah Pohon Beringin. Kedua, Nurdin mengirim sinyal pembenaran sikapnya yang kurang senang kepada Taufan Pawe.

Dalam suatu talkshow Tribun Timur, Wakil Ketua Umum DPP Golkar, Nurdin Halid, menyatakan dirinya siap maju bertarung untuk Pilgub, demi nama besar Golkar, jika memang tidak ada kader mumpuni dan mau. 

Nurdin Halid malah menyebut Erwin Aksa sebagai salah satu kader Golkar yang ia dukung untuk maju dalam Pilgub. Bahkan, ia menegaskan, dirinya siap mengerjakan 60 persen dan sisanya urusan Erwin yang kini sebagai Wakil Ketua Umum DPP Golkar. 

Pernyataan itu secara tersirat, mengindikasikan Nurdin Halid kurang memperhitungkan Taufan Pawe, Ketua DPD Golkar Sulsel, sebagai kandidat yang dijagokan di arena Pilgub. Apalagi, selama kepemimpinan Walikota Parepare itu, kelebat Golkar Sulsel kurang signifikan.

Bahkan, banyak senior Golkar yang secara terang-tetangan menyatakan kekecewaannya dan ketidaksenangannya pada Taufan Pawe. Itu karena gaya kepemimpinan Taufan Pawe yang dinilai kurang menghargai senior dan kader loyalis Golkar yang bukan kubunya. 

Padahal seorang pemimpin partai sepatutnya merangkul semua pihak. Kubunya atau bukan karena toh semuanya juga kader Golkar. 

Manuver Nurdin bertemu Ilham, sebelum Ilham resmi menyatakan pindah ke Golkar, adalah nyala lampu hijau. Kemudian ia seolah menjadi tuan rumah dan dirigen pada acara halal bihalal relawan kader Golkar untuk dukungan kepada Airlangga Hartarto pada Pilpres 2024.

Acara halal bihalal kader Golkar itu pun seolah menjadi upacara penerimaan Ilham kembali ke Golkar. Meriah tetapi menjadi aneh karena tidak mengundang Taufan Pawe. 

Boleh jadi juga itu memang skenario Golkar. Dalam konteks ini, Nurdin Halid menjadi dirigen "orkestrasi" yang dinamis internal Golkar Sulsel. 

Dengan bergabungnya Ilham ke Golkar maka Golkar Sulsel kini memiliki dua patarung Pilgub. Ilham pernah bertarung melawan Syahrul Yasin Limpo. Nurdin Halid melawan Nurdin Abdullah.

Petarung turun gunung. Suhu biasanya membiarkan suasana kisruh, lalu mengambil satu pentolan untuk membereskan keributan. Kalau perlu, suhu turut mengobrak-abrik keadaan lalu mengatur ulang strategi padepokan untuk pertarungan selanjutnya. 

Bisa jadi, Nurdin merekrut Ilham agar terjadi kompetisi antara Ilham dan Taufan sehingga Golkar memiliki dua mesin generator dan dinamisator untuk berpacu menuju Pilgub. Sekaligus mesin ganda peraih suara (vote getter) untuk Pilpres dan Pileg. Terlepas apakah Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto maju berkompetisi dalam kontestasi pilpres/wapres.

Akan tetapi dinamika politik tidak bisa dikalkulasi secara eksak dua tambah dua sama dengan empat. Manuver dan pernyataan politik para politisi juga tidak bisa ditangkap dan dibaca secara linear.

So, time will tell. Waktu yang akan bercerita.