KOLOM ANDI SURUJI : Jepang dan Diplomasi Sampah

Suporter Jepang memungut sampah di Stadion usai laga Jerman vs Jepang di Piala Dunia 2022 - (foto by @fifaworldcup/instagram)

SETELAH pasukan Samurai Jepang melibas panser Jerman, di ajang putaran final Piala Dunia Qatar, suporter negeri sakura tidaklah eforia merayakan kemenangan. Mereka malah terlihat sibuk memunguti sampah yang ditinggalkan penonton berserakan di tribun. 

Banyak warga dunia maya memuji perilaku bersih penonton Jepang tersebut. Padahal, itu bukan tugas dan tanggung jawabnya. Penyelenggara Piala Dunia tentu telah menyediakan tenaga kebersihan. 

Apa yang dilakukan suporter Jepang itu adalah spontanitas mereka saja. Akan tetapi, mereka telah menunjukkan kepada dunia, bahwa Jepang adalah bangsa yang bersih, suka kebersihan. 

Aksi sederhana itu jelas menimbulkan kesan baik bagi warga dunia. Dampaknya bisa banyak. Warga dunia pasti terkesan bahwa di negara orang pun bangsa Jepang menjaga kebersihan umum, apalagi di negaranya. Citra baik. 

Memang, setiap warga negara Jepang menanamkan dalam diri mereka kesadaran yang tinggi bahwa mereka adalah duta bangsanya, di mana pun berada dan beraktivitas. 

Budaya bersih bangsa Jepang memang sangat kuat. Mulai anak-anak sampai orang tua. Cobalah naik angkutan umum di Jepang. Sangat bersih. Bus, pesawat, kereta api, kereta bawah tanah, semua bersih. 

Penumpang pasti membawa turun sampahnya, lalu segera memasukkan sampah mereka ke dalam tong sampah yang sudah tersedia di terminal atau stasiun.

Perilaku seperti itu, sudah membudaya. Karena sudah menjadi perilaku, bahkan sudah semacam way of life. Justru aneh kalau ada orang yang membuang sampah sembarangan. Atau meninggalkan sampahnya di fasilitas umum. 

Seorang yang mengunyah permen karet misalnya. Kertas pembungkusnya pasti disimpan di kantongnya. Nanti kalau permen karet sudah mau dibuang, kertas pembungkus tadi diambil dan digunakan membungkus bekas permen karet tersebut baru dibuang ke tempat sampah.

Bahkan kalau tidak ada tempat sampah, maka sampah itu dikantongi dulu. Mengantongi sampah, walaupun di kantong jas sudah merupakan hal biasa bagi orang Jepang

Saya teringat sewaktu saya mengikuti program studi Japan Foundation 1999-2000. Belajar tentang Jepang di Kansai International Institute di Osaka. 

Semua peserta ditampung di asrama institut. Masing-masing satu kamar. Saya sebagai perokok, seringkali dipenalti gara-gara melanggar aturan. Aturannya, semua perokok harus membuang sendiri puntung rokoknya. Asbak harus bersih kalau meninggalkan kamar. 

Karena kebiasaan, saya sering lupa membuang puntung rokok yang ada di asbak. Karena itu saya dihukum. Kamar saya tidak dibersihkan oleh petugas. 

Pernah tiga hari berturut saya lupa membuang puntung rokok di asbak. Tiga hari pula kamar saya tidak dibersihkan, sarung bantal dan seprei tidak diganti.

Lama-kelamaam saya pun terbiasa. Membersihkan asbak sebelum meninggalkan kamar. Mengantongi sampah kecil-kecil sudah terbiasa. Saya tidak dihukum lagi. Pekerja pun senang. 

Setelah tiga hari hukuman itu, saya sudah rajin membersihkan asbak. Pekerja volunter itu pun menulis catatan tangannya pada secarik kertas dan diletakkan pada asbak saya. Dalam tulisan kanji, bacanya arigato gozaimasta. Artinya Terima Kasih. 

Mereka yang membersihkan pekarangan, kelas, kamar peserta, kantin, dapur, adalah volunter yang tidak digaji. Rata-rata sudah lanjut usia. Mereka pekerja sosial.

Jadi, kalau suporter Jepang membersihkan stadion, memunguti sampah yang berserakan, itu bukan sesuatu yang luar biasa di Jepang. Mereka sudah terbiasa, dan rela melakukannya walaupun di negeri orang. 

Mereka sebenarnya menjalankan soft diplomacy, cultural diplomacy. Ya, diplomasi sampah, yang mendapat pujian.