KOLOM ANDI SURUJI : Don't Cry for Argentina, Mbappe...!

Kylian Mbappe - (foto by @fifaworldcup/instagram)

PANGLIMA perang Prancis, Kylian Mbappe sedih dan berduka. Bukan air matanya menetes. Tetapi hatinya yang menangis. 

Meringis, tersayat dan terluka perasaan Sang Kapten. Timnya gagal adu penalti. Batal membawa pulang Piala Dunia. Untuk dipersembahkan sebagai bakti anak bangsa bagi negerinya. 

Prancis melesat bagai meteor di langit. Di lapangan, tanpa ampun menggilas dan menyingkirkan lawan. Satu per satu lawan dibabatnya. Mulus melangkah menuju puncak Piala Dunia 2022.

Prancis berhasil pula menjinakkan Singa Atlas Maroko yang tampil mengejutkan. Bikin heboh dan atraktif meraih simpati dunia. Menyingkirkan dan memulangkan tim flamboyan Spayol dan Portugal, bukan perkara enteng. Bukan pula pekerjaan ringan. Tetapi suatu prestasi dan peristiwa historis. 

Berhasil mengatasi dan mematahkan ambisi Singa Atlas di semifinal, tidak demikian di partai puncak. Mbappe dkk gagal membungkam auman dan amukan singa lain. Ya, Leo (Singa) Messi dkk. Kalah adu penalti. 

Kylian Mbappe Lottin sudah berusaha mati-matian. Mencetak hattrick, memborong tiga gol sendirian di babak utama dan perpanjangan waktu. Satu lagi di momen adu penalti yang kemudian menyedihkannya.

Itulah takdir Mbappe dan kawan-kawan. Juga Prancis. Betapa dramatis pertarungan itu. Babak utama (2x45 menit) terisa 11 menit. Prancis ketinggalan dua gol.

Pendukung Argentina terus menari dan menyanyi. Bagai menarikan tarian tango yang dinamis. Messi dan kawan-kawan meliuk-liuk dan menjelajah ke seluruh penjuru lapangan. 

Sementara Mbappe cs terus berjuang sekuat tenaga, melakukan pembalasan atas serangan Argentina yang bertubi-tubi. Tetapi ini bukan cerita tentang perang Malvinas, ketika Argentina melawan Inggris. Dan akhirnya Argentina kalah perang. 

Ini perang antara Prancis dan Argentina. Perang dua juara dunia dua kali. Antara Lionel Messi vs Kylian Mbappe. Messi Kapten Argentina. Mbappe Kapten Prancis. Keduanya juga bermain untuk klub flamboyan Paris Saint-Germain.

Sepakbola adalah permainan. Juga drama yang mementaskan cerita kemenangan dan kekalahan. Kadang misterius pula. 

Sekitar 11 menit jelang babak utama berakhir, terjadilah mukjizat itu. 11 menit golden moment bagi Prancis yang mengubah suasana. Mbappe melesatkan satu gol ke gawang Emiliano Martinez. Lusail bergemuruh. Langit Qatar seolah mau runtuh.

Hanya 1 menit 37 detik berikutnya, Mbappe kembali menggetarkan jala gawang Argentina. Luar biasa. Secepat kilat saja. Pasukan pertahanan Argentina seolah kocar-kacir, belum siap diserang lagi. 

Giliran Prancis bergembira. Suporter Argentina sebagian mulai bungkam. Cemas kehilangan peluang juara. 

Mbappe pun seolah menumpahkan sisa energi yang dimilikinya. Terus berada di posisi strategis sayap kanan pertahanan Argentina. Melesat bagai rudal begitu mendapat bola.

Di babak perpanjangan waktu, Mbappe dan Messi berbagi masing-masing satu gol. Petaka datang ketika momen adu penalti. Mbappe membuka dengan baik, eksekusinya membuahkan gol. 

Tetapi dua algojo pinalti Prancis, gagal eksekusi. Satu meleset, satu diblok Martinez. Mbappe mulai cemas. Suporternya pun mulai gigit kuku pertanda cemas.

Kecemasan itu menjadi kenyataan, bencana bagi Prancis, ketika penendang berikutnya kubu Argentina, berhasil mengeksekusi penalti dengan baik. Wassalam Prancis. 

Argentina selebrasi kemenangan. Anak-anak Prancis tertunduk lemas, lesu, seolah di tubuhnya tak mengalir darah lagi. Bahkan ada yang menangis sesungguhnya.

Mbappe lunglai, lemas, tak bergairah. Energi ekstra yang ditumpahkan seolah menguap seperti layaknya alkohol dalam kandungan anggur-anggur (wine) terbaik buatan Prancis yang telah dituang ke dalam gelas. 

Berjalan manaiki podium untuk menerima penghargaan pencetak gol terbanyak, Adidas Golden Foot Award, Mbappe seperti tak bertenaga lagi. Lunglai kehilangan semangat. Tampak kekecewaan dan luka mendalam di wajahnya ketika disorot close up kamera. 

Hampir 100 persen Mbappe tak bisa disalahkan. Ia telah mempersembahkan segalanya. Empat gol di partai paling bergengsi itu. Temannya yang gagal.

Adu penalti adalah adu ketangkasan mengeksekusi bola, mengecoh kiper. Tapi yang paling utama, kematangan jiwa penembak mengeksekusi secara akurat. Kematangan jiwa penembak penalti tak ubahnya ketegaran jiwa seorang penembak mati, atau algojo pemancung kepala dalam hukuman mati. Ya kiper memang harus dimatikan. Dibuat mati langkah. 

Boleh jadi, kesalahan ada pada pelatih Prancis dalam memilih dan menunjuk eksekutor penalti pada malam yang membawa petaka itu. 

Mbappe tidak patut dituntut pertanggungjawaban moral atas kegagalan Prancis. Tidak perlu pula menangis panjang dan lama bersedih. Ia masih muda, baru 23 tahun. 

Masih terbentang jalan menuju Piala Dunia berikutnya. Para penggemar pun masih menanti keindahan sepakbola Mbappe. 

Andai saja Prancis juara, betapa senangnya Mbappe. Ia akan mempersembahkan Piala Dunia sebagai hadiah ulang tahun terindah bagi dirinya, negaranya dan rakyatnya. Dua hari saja peristiwa itu, sebelum Mbappe merayakan tanggal lahirnya, 20 Desember 1998.

Tak perlu menangisi nasib kekalahan Prancis dan takdir kemenangan Argentina. So don't cry for Argentina, Mbappe.