KOLOM ANDI SURUJI: Piala Dunia dan Sepakbola Indonesia
MEMBACA judul kolom ini, boleh jadi Anda langsung skeptis.
Atau bahkan apriori. Jangan gitu dong. Sabar dulu...
Para pencinta dan penggila bola Tanah Air sedang
asik-asiknya menikmati pertandingan demi pertandingan Piala Dunia Qatar. Ada
kejutan, ada drama. Ada luapan kegembiraan kemenangan. Ada pula tangis
kesedihan kekalahan.
Sebanyak 16 tim sudah angkat koper setelah gagal masuk
kelompok 16 besar. Nah, yang tersisa itu pun sudah enam tim lagi yang harus
balik kanan pulang kampung.
Di tengah hiruk-pikuk Piala Dunia, dengan segala daya
tariknya, PT Liga dan PSSI akhirnya menggulirkan kembali kompetisi Liga 1,
mulai 5 Desember. Lebih dua bulan kompetisi jeda. Buntut kerusuhan di Stadion
Kanjuruhan, Malang, awal Oktober lalu.
Prihatin dan duka mendalam kita haturkan kepada ratusan jiwa
dan luka serta keluarga korban tragedi Stadion Kanjuruhan.
Kiranya tragedi Kanjuruhan menjadi peristiwa duka terakhir
di dunia sepakbola nasional. Cukup sudah korban jiwa akibat salah kelola
persepakbolaan nasional. Stadion adalah tempat bermain dan bergembira, bukan
arena pembantaian.
Tetapi kompetisi yang jeda selama dua bulan tentu
menimbulkan banyak kerugian. Bagi klub, pemain, dan citra sepakbola sendiri.
Semua pihak sudah wajib sadar dan bertaubat untuk tidak
berbuat "dosa sepakbola" lagi. Kesalahan, kelemahan, kekurangan harus
dibenahi secara menyeluruh oleh semua pihak, stakeholder sepakbola nasional.
Rekomendasi Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF)
kasus Kanjuruhan harus dijalankan semuanya. Tanpa kompromi. Tidak perlu ada
pihak yang merasa benar sendiri. Tragedi Kanjuruhan merupakan dosa kolektif
yang harus dipertanggujawabkan, terutama secara moral. Secara kolektif dan
hirarkis pula.
Tujuannya tentu untuk kebaikan dan kemajuan sepakbola
nasional. Kita rindu prestasi, tidak ingin hanya menjadi penonton setiap kali
Piala Dunia digelar. Tentu kita berharap suatu saat, yang tidak terlampau lama,
kita sudah bisa masuk babak penyisihan putaran final Piala Dunia. Ya tampil di
babak 32 besar.
Agak terganggu pikiran dan perasaan ketika kita coba
switching mata dari menyaksikan siaran langsung Piala Dunia ke siaran langsung
pertandingan Liga 1 yang merupakan kompetisi tahta teratas sepakbola nasional.
Begitu mencolok perbedaan. Ya stadionnya, lapangannya,
maupun mutu permainan pemain-pemain sepakbola kita. Masih amat jauh harapan
kita untuk tampil di babak final Piala Dunia. Bahkan juara Asia pun masih cukup
berat.
Padahal, pemain sepakbola kita tampil di ajang Piala Dunia,
atau pun pertandingan tingkat dunia seperti olimpiade, bukanlah isapan jempol.
Dalam ajang Piala Dunia Prancis tahun 1938, pemain kita sudah berkiprah.
Saat itu, tim Tanah Air memang masih membawa bendera Hindia
Belanda. Ya, Hindia Belanda karena Indonesia memang belum berdiri sebagai
negara. Indonesia baru merdeka pada 17 Agustus 1945.
Menurut catatan FIFA, penampilan mereka itu merupakan tim
Asia pertama yang berkiprah di Piala Dunia.
Kendati demikian, tim Hindia Belanda itu sudah diperkuat
beberapa anak-anak kaum "Boemi Poetera". Putra-putra pribumi. Bahkan
kaptennya, anak pribumi.
Pada pertandingan pertama di Stadion Reims, 5 Juni 1938, tim
Hindia Belanda diperkuat pemain-pemain asal suku Jawa, Maluku, Tionghoa, dan
Indo-Belanda. Sayangnya harapan itu dihancurkan Hungaria enam gol tanpa balas.
Hungaria melaju hingga ke laga final dan menjadi runner-up setelah ditekuk
Italia 2-4.
Di antara pemain tim Hindia Belanda, seperti dikutip
bbc.com, terdapat Achmad Nawir. Pemain bertahan asal klub Soerabajasche Voetbal
Bond itu dipercaya pelatih Johannes Christoffel van Mastenbroek untuk menjadi
kapten. Yang unik, sebagaimana dikutip situs Java Post yang berbahasa Belanda,
Nawir sesungguhnya berprofesi sebagai dokter.
Unik, Ahmad Nawir turun ke lapangan dengan mengenakan
kacamata. Suatu hal yang tidak lazim saat itu dan jarang dilakukan pemain
negara lain.
Jejak historis sepakbola Indonesia, juga terdapat dalam
catatan sejarah Olimpiade Melbourne 1956.
Tim nasional Indonesia menahan imbang Uni Soviet 0-0 pada
babak perempat final.
Bahkan, Indonesia nyaris mengalahkan Soviet pada pertandingan
itu. Sebagaimana dilansir situs FIFA, ujung tombak klub Macassaarche Voetbal
Bond (kini PSM Makassar) Andi Ramang melepaskan tembakan ke gawang Soviet di
menit ke-84. Namun, kiper legendaris Lev Yashin bergerak cepat dan menepis bola
dengan ujung jarinya.
Peristiwa ini masih menjadi referensi dan inspirasi
sepakbola nasional hingga kini. Padahal itu terjadi 66 tahun silam. Bayangkan
seandainya Ramang cs mengalahkan Rusia saat itu.
Jadi, anak-anak Indonesia kelak bisa tampil di putaran Piala
Dunia FIFA, bukanlah sesuatu yang mustahil. Syaratnya, ada niat baik semua
stakeholder, membenahi secara total dan komprehensif ekosistem dan support
system persepakbolaan nasional. Sekaranglah momentumnya.