Kisah Pilu Warga Gaza Pasca Gencatan Senjata: Tersisa Puing, Jenazah dan Trauma

Saat para penyintas kembali ke rumah mereka di Wadi Gaza, mereka berjalan di antara reruntuhan - (foto by Antara)

CELEBESMEDIA.ID, Makassar - Israel dan Hamas telah mencapai gencatan senjata. Namun kisah pilu warga Gaza belum juga berakhir. Warga Palestina yang akhirnya bisa pulang ke rumah, masih menyisakan cerita pilu menyaksikan puing-puing kota, jenaza dan trauma mendalam akibat serangan Israel.

Melansir Antara, Senin (10/2), beberapa warga Gaza pun bercerita pengalaman mereka kembali menginjakkan kaki kembali kampung halaman mereka setelah hidup beberapa lamanya di pengungsian.

Sakah satunya Emad al-Ramli (45), seorang pria Palestina dari Kota Al-Mughraqa, Gaza tengah, berjalan melewati daerah yang hancur ditinggalkan tentara Israel di kedua sisi Koridor Netzarim, sebuah jalur yang membagi Gaza menjadi zona utara dan selatan.

Kehancuran yang terjadi di Wadi Gaza, satu-satunya daerah lahan basah di Jalur Gaza, sangat luar biasa. Bangunan-bangunan yang dulunya berdiri tegak kini menjadi puing-puing, jalanan musnah, dan semua tanda-tanda kehidupan lenyap.

Ayah dari tujuh orang anak itu berdiri termangu dalam keheningan, berusaha keras untuk mencerna skala kehancuran yang terjadi. Rumah-rumah yang dulunya penuh dengan tawa anak-anak telah hancur menjadi puing-puing yang berserakan.

"Apa yang sedang kita lihat ini? Apakah ini mimpi buruk, atau kenyataan?" gumamnya dengan suara tercekat oleh emosi. "Israel tidak hanya melawan Hamas, tetapi juga melawan kami semua. Mereka ingin menghancurkan harapan kami dan membuat kami putus asa," ujarnya dengan mata berkaca-kaca demikian melansir Antara, Senin (10/2).

Namun, kengerian dari kehancuran itu bukanlah satu-satunya hal yang mengejutkan. Ketika dia bergabung dengan sekelompok tetangga, kakinya menginjak sesuatu yang sebagian terkubur di pasir. Saat membungkuk, dia mendapati sisa-sisa tubuh manusia.

Tubuhnya gemetar sembari berteriak, "Ada martir di sini! Ada sisa-sisa tubuh manusia di sini!"

Al-Ramli bukanlah satu-satunya orang yang merasakan kengerian itu. Mereka yang kembali ke Wadi Gaza menyaksikan kehancuran yang tak terbayangkan, dengan jenazah bergelimpangan, beberapa terlihat jelas, sementara yang lainnya tertimbun reruntuhan.

Saat para penyintas kembali ke rumah mereka di Wadi Gaza, mereka berjalan di antara reruntuhan, merasa seperti orang asing di tanah mereka sendiri.

Abdul Salam Hamoud (33) datang bersama tiga saudara laki-lakinya untuk mencari saudara mereka, Ahmed, yang hilang satu tahun lalu. Alih-alih menemukan jasadnya, mereka hanya menemukan potongan-potongan pakaiannya.

"Pakaian ini menandakan satu hal, dia telah tiada," katanya dengan suara bergetar. "Di sini, kehidupan telah berhenti. Yang tersisa hanyalah gaung kesedihan dan kematian.

Joudeh al-Maghribi, seorang pria Palestina berusia 80 tahun, pernah memiliki rumah lima lantai yang menaungi 40 anggota keluarga besarnya. Kini, semuanya telah musnah.

"Ke mana kami harus pergi sekarang? Bagaimana kami dapat mulai membangun kembali apa yang telah hancur akibat perang?" tanyanya sembari berdiri terpaku.

Rumah Al-Maghribi termasuk di antara 2.500 rumah yang hancur akibat serangan tentara Israel, menurut Jaber Abu Hajir, wali kota Wadi Gaza.

"Tentara Israel melenyapkan semua tanda-tanda kehidupan di Wadi Gaza," kata Abu Hajir. "Mereka meratakan 2.000 dunam (200 hektare) lahan pertanian, mengubah daerah itu menjadi kota hantu yang tidak layak huni."

"Mayat-mayat tergeletak membusuk di tempat terbuka. Kehancurannya sangat besar, dan tidak ada sumber daya untuk membantu para penyintas. Orang-orang tidak memiliki apa-apa selain keputusasaan dan penyesalan," ujarnya, menggambarkan situasi tersebut sebagai "malapetaka besar dalam segala aspek."

Abu Hajir menyerukan kepada masyarakat internasional untuk segera turun tangan dalam upaya membangun kembali Gaza. "Kami tidak dapat menanggung penderitaan ini sendirian," ujarnya.

Sumber : Antara