KOLOM ANDI SURUJI: Makan Gratis dan Rekayasa Sosio-kultural
SERING kita mendengar orang bilang tidak ada yang namanya
makan siang gratis. Itu adalah pepatah populer yang berpandangan
bahwa tidak mungkin mendapatkan sesuatu secara cuma-cuma. Artinya, untuk
mendapatkan sesuatu harus ada upaya atau biaya.
Ungkapan itu telah lama ada. Bahkan ekonom pasar bebas
Milton Friedman memparafrasekannya dalam judul bukunya yang terbit tahun 1975 :
There's No Such Thing A Free Lunch. Istilah dari judul buku itu digunakan dalam
literatur ilmu ekonomi untuk menggambarkan biaya peluang
(opportunity cost).
Tentu saja istilah itu berbeda dengan Makan Bergizi Gratis,
program Presiden Prabowo Subianto yang mulai dijalankan dalam skala besar pada
Senin (6/1/2025). Sebab, untuk mendapatkan makan gratis itu, murid atau siswa
tidak memerlukan upaya dan tanpa biaya apa pun.
Sejauh tayangan siaran stasiun televisi yang sempat saya
pantau, uji coba makan gratis yang dikerubuni pejabat, termasuk menteri yang
tidak ada kaitan tupoksinya, anak-anak cukup duduk manis saja. Pejabat-pejabat
itulah yang sibuk melayani dan membagikan makanan. Mungkin karena edisi perdana
jadi semua bersemangat.
Walaupun makan bergizi gratis labelnya, tetapi secara
substansial harusnya tidak betul-betul gratis. Meskipun tidak dibayar dengan
uang, program ini sebaiknya disertai agenda rekayasa sosio-kultural sebagai imbalan
atau "ongkos belajar".
Jadi istilahnya diubah menjadi Nation Character Building
with a Free Lunch. Dengan demikian, program makan itu tak sekadar mengisi
perut, upaya pemenuhan gizi anak-anak, tetapi sekaligus sebagai agenda besar
membangun karakter bangsa di kalangan generasi penerus tersebut.
Dengan rekayasa sosial, program ini akan menghasilkan
outcome yang tak bisa ternilai dengan kalkulasi biaya atau rupiah.
Rekayasa sosial yang dimaksud adalah ritual makan itu wajib
disertai pendidikan dini tentang kedisiplinan, higienitas, motivasional,
kultur, solidaritas, etika dan atitud. Mulai dari penyajiannya, saat makan,
sampai setelah selesai makan.
Makanan jangan diantarkan ke meja masing-masing anak. Tetapi
makanan cukup diletakkan saja pada satu tempat. Ini akan mengurangi tenaga yang
dibutuhkan. Dan paling penting, makanan itu tidak banyak disentuh orang lain
sebelum sampai di meja anak-anak. Ini faktor higienitas.
Lalu anak-anak wajib cuci tangan dulu, untuk mendidik anak
belajar hidup bersih. Setelah itu anak-anak harus antre secara teratur dan
tertib mengambil makanannya.
Tentu hal sepele itu bermakna besar karena ini pelajaran
ketertiban dan membangun budaya antre sejak dini. Bukan budaya saling serobot.
Pelajaran antre untuk makan itu tentu akan otomatis dilakukan di saat mereka di
luar acara makan. Antre di jalanan, antre masuk keluar lift, dan sebagainya.
Rasa solidaritas dibangun dengan menumbuhkan kesadaran
anak-anak yang secara sukarela, tanpa disuruh atau diminta, untuk membantu rekannya yang tidak
bisa antre, karena sakit atau cacat misalnya. Itu juga menanamkan jiwa
tolong-menolong membantu sesama. Walaupun
hanya sepele, tetapi itu mengajarkan perbuatan baik yang harus
dibiasakan.
Berdoa bersama sesuai agama dan keyakinan masing-masing
sebelum makan, juga akan menjadi pelajaran penting dan kebiasaan baik. Tentang
kebersamaan dan toleransi dalam perbedaan.
Pelajaran etika-etika atau adab-adab makan juga perlu
disisipkan. Misalnya, pada saat mengunyah makanan tidak boleh kunyahan
menimbulkan suara. Mulut ditutup saat mengunyah.
Saya punya pengalaman, di kalangan orang dewasa pun banyak
yang pada saat mengunyah makanannya menimbulkan bunyi seperti suara kucing lagi
makan atau minum. Sungguh tidak sopan dan tidak nyaman bagi yang tidak
terbiasa.
Pada saat makan, berbicara sebaiknya dikurangi seminimal
mungkin. Apalagi kalau berbicara dalam keadaan mulut penuh makanan, tentu tidak
sopan. Juga kadang tidak jelas terdengar apa yang dikatakan.
Saya suka memperhatikan perilaku-perilaku seperti itu.
Bahkan saya sering menemukan orang di suatu pesta, makan sambil cerita. Sendok,
garpu, bahkan pisau di tangannya ikut terayun-ayun sesuai gerakan tangannya.
Sungguh mengerikan kalau tiba-tiba pisau makan itu terlepas.
Bisa mengenai orang lain, atau percikannya mengotori pakaian orang lain.
Rekayasa sosio-kultural itu tentu belum berakhir sampai di
situ. Setelah makan, Anak-anak diajari berdoa, bersyukur dan berterima kasih
dapat mengonsumsi makanan bergizi pada hari itu. Anak-anak kemudian dididik
mengurus sendiri wadah makannya setelah selesai makan. Nilai kemandirian
ditancapkan.
Didikan lain yang tak kalah pentingnya menyertai program
makan gratis itu, ialah kebiasaan tahu diri dan tidak serakah. Diajarkan
kemampuan makan dan membangun kebiasaan menghabiskan makanan. Kalau kira-kira
jatah makan tidak bisa dihabisi, sebaiknya dari awal disishkan dulu. Jangan
langsung dihajar, lalu akhirnya tersisa.
Bayangkan kalau setiap anak menyisakan satu sendok saja
makanannya. Dengan jangkauan program 8,9 juta anak, berarti akan ada 8,9 juta
sendok makanan tersisa untuk sekali makan.
Hitung saja betapa besar kemubaziran yang terjadi dalam
setahun. Ya 8,9 juta sendok dikali 24 hari sebulan dikali 12 bulan dalam
setahun. Itu sama dengan sekitar 2,6 miliar sendok makanan tersisa dalam
setahun.
Jika kemubaziran itu dapat dicegah, pasti akan terjadi
efisiensi dan efektivitas anggaran dari Rp 71 triliun setahun bujet makan
gratis tersebut. Ini rekayasa sosio-kultural yang berdampak ekonomis secara
signifikan.
Melalui program makan bergizi gratis ini yang diparalelkan
rekayasa sosio-kultural, tanpa sadar akan sekaligus membangun karakter bangsa
yang hemat, beradab, berbudaya, bersyukur, mandiri, dan tidak serakah dan
saling serobot.
Satu syarat yang wajib dijaga, rantai proses pengadaan
bahan, produksi sampai deliverynya, tidak ditumpangi kepentingan pribadi.
Semisal mark-up harga, mark-down volume, dan segala macam praktik kongkalikong
lainnya. Di sini titik rawannya. Sebagaimana program bantuan sosial lainnya,
dikorupsi.
Artikel ini telah tayang di edisi cetak Tribun Timur, Selasa
7 Januari 2025.