Hukum dan Sejarah Puasa Asyura
CELEBESMEDIA.ID, Makassar - Kita sudah mengetahui keutamaan
puasa Asyura. Puasa Asyura atau berpuasa di tanggal 10 Muharram biasanya juga
diikuti dengan ibadah sunnah puasa Tasu’ah yaitu puasa pada tanggal 9 Muharram yang
salah satu tujuannya adalah untuk menyelisihi Yahudi. Sebab kaum Yahudi juga dulunya
berpuasa di tanggap 10 Muharram.
Lalu bagaimanakah sejarah puasa Asyura ini?
Mengutip laman laman muslim.or.id, dijelaskan jika puasa
Asyura ini melalui beberapa fase.
Asyura adalah hari kesepuluh pada bulan Muharram. Dia adalah
hari yang mulia. Menyimpan sejarah yang mendalam, tak bisa dilupakan.
Ibnu Abbas berkata: “Nabi tiba di Madinah dan dia mendapati
orang-orang Yahudi sedang berpuasa A’syuro. Nabi bertanya: “Puasa apa ini?”
Mereka menjawab: “Hari ini adalah hari yang baik, hari dimana Allah telah
menyelamatkan Bani Israil dari kejaran musuhnya, maka Musa berpuasa sebagai
rasa syukurnya kepada Allah. Dan kami-pun ikut berpuasa. Nabi berkata: “Kami
lebih berhak terhadap Musa daripada kalian”. Akhirnya Nabi berpuasa dan
memerintahkan manusia untuk berpuasa. (HR.Bukhari: 2004, Muslim: 1130)
Tahapan dalam sejarah puasa Asyura ini ada 4 fase. Melansir
laman rumashyo.com fase tersbeut dimulai dari Rasulullah yang hanya berpuasa di
10 Muharram namun tidak memerintahkannya hingga pada fase terakhir di akhir
hayatnya Rasulullah bertekad untuk tidak hanya puasa pada hari A’syuro saja,
namun juga menyertakan hari tanggal 9 Muharram sebagai puasa Tasu’a.
Fase pertama: Rasulullah berpuasa di Mekkah dan tidak
memerintahkan manusia untuk berpuasa.
Aisya Radiyallahu ‘anha menuturkan: ”Di zaman jahiliyah
dahulu, orang Quraisy biasa melakukan puasa ’Asyura. Rasulullah shallallahu
’alaihi wa sallam juga melakukan puasa tersebut. Tatkala tiba di Madinah,
beliau melakukan puasa tersebut dan memerintahkan yang lain untuk melakukannya.
Namun tatkala puasa Ramadhan diwajibkan, beliau meninggalkan puasa ’Asyura.
(Lalu beliau mengatakan:) Barangsiapa yang mau, silakan berpuasa. Barangsiapa
yang mau, silakan meninggalkannya (tidak berpuasa).” (HR. Bukhari no. 2002 dan
Muslim no. 1125)
Fase kedua: Ketika tiba di Madinah, Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam melihat Ahlul Kitab melakukan puasa ‘Asyura dan memuliakan hari
tersebut. Lalu beliau pun ikut berpuasa ketika itu. Kemudian ketika itu, beliau
memerintahkan pada para sahabat untuk ikut berpuasa. Melakukan puasa ‘Asyura
ketika itu semakin ditekankan perintahnya. Sampai-sampai para sahabat
memerintah anak-anak kecil untuk turut berpuasa.
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuma, beliau berkata,
“Ketika tiba di Madinah, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa
sallam mendapati orang-orang Yahudi melakukan puasa ’Asyura. Kemudian
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bertanya, ”Hari yang kalian bepuasa
ini adalah hari apa?” Orang-orang Yahudi tersebut menjawab, ”Ini adalah hari
yang sangat mulia. Ini adalah hari di mana Allah menyelamatkan Musa dan
kaumnya. Ketika itu pula Fir’aun dan kaumnya ditenggelamkan. Musa berpuasa pada
hari ini dalam rangka bersyukur, maka kami pun mengikuti beliau berpuasa pada
hari ini”. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam lantas berkata, ”Kita
seharusnya lebih berhak dan lebih utama mengikuti Musa daripada kalian.”. Lalu
setelah itu Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam memerintahkan kaum
muslimin untuk berpuasa.” (HR. Muslim no. 1130)
Fase ketiga: Setelah diturunkannya kewajiban puasa Ramadhon,
beliau tidak lagi memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa A’syuro, dan
juga tidak melarang, dan membiarkan perkaranya menjadi sunnah sebagaimana
hadits Aisyah yang telah lalu.
“Sesungguhnya orang-orang Jahiliyah biasa melakukan puasa
pada hari ’Asyura. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam pun melakukan puasa
tersebut sebelum diwajibkannya puasa Ramadhan, begitu pula kaum muslimin saat
itu. Tatkala Ramadhan diwajibkan, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam
mengatakan: Sesungguhnya hari Asyura adalah hari di antara hari-hari Allah.
Barangsiapa yang ingin berpuasa, silakan berpuasa. Barangsiapa meninggalkannya
juga silakan.”( HR. Muslim no. 1126)
Fase keempat: Pada akhir hayatnya, Nabi bertekad untuk tidak
hanya puasa pada hari A’syuro saja, namun juga menyertakan hari tanggal 9
A’syuro agar berbeda dengan puasanya orang Yahudi.
Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuma berkata bahwa ketika Nabi
shallallahu ’alaihi wa sallam melakukan puasa hari ’Asyura dan memerintahkan
kaum muslimin untuk melakukannya, pada saat itu ada yang berkata,
“Wahai Rasulullah, hari ini adalah hari yang diagungkan oleh
Yahudi dan Nashrani.” Lantas beliau mengatakan,
“Apabila tiba tahun depan –insya Allah (jika Allah
menghendaki)- kita akan berpuasa pula pada hari kesembilan.” Ibnu Abbas
mengatakan,
“Belum sampai tahun depan, Nabi shallallahu ’alaihi wa
sallam sudah keburu meninggal dunia.” (HR. Muslim no. 1134).
Hukum Puasa Asyura
Hukum bpuasa Asyura adalah sunnah berdasarkan hadits-hadits
yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun bolehkah
berpuasa Asyura namun tidka berpuasa Tasu’a?
Ulama Hanafiyah menegaskan bahwa makruh hukumnya jika berpuasa pada tanggal 10 saja dan tidak diikutsertakan dengan tanggal 9 Muharram atau tidak diikutkan dengan puasa tanggal 11-nya. Sedangakan ulama Hambali tidak menganggap makruh jika berpuasa tanggal 10 saja. Sebagaimana pendapat ini menjadi pendapat dalam madzhab Imam Malik. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 28: 90).