KOLOM ANDI SURUJI: Rupiah Mulai Meriang, Bersiap yang Terburuk

Rupiah - (foto by Pixabay)

BERITA ekonomi nasional pekan ini mulai kurang enak dibaca. Banyak orang yang panas dingin.

Rupiah  tembus angka psikologis Rp 15 ribuan per dollar Amerika Serikat. Suhu perekonomian juga mulai hangat.

Di penghujung pekan lalu, Badan Pusat Statistik mengumumkan angka inflasi yang cukup tinggi, 0,61 persen. Harga-harga melonjak, artinya.

Beberapa waktu lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sudah mengingatkan. Perekonomian global sedang "tidak baik-baik saja".

Pada minggu keempat Mei itu beberapa indikator ekonomi nasional cukup baik. Namun perkembangan global dapat bertransmisi dengan cepat ke perekonomial nasional.

Bank Indonesia juga memberi peringatan. Perekonomian global dilanda "scarring effect". Efek menakutkan.

Pada Maret 2021, berbagai indikator menunjukkan pemulihan ekonomi global yang berlangsung, termasuk di Indonesia, patut disambut baik, namun tetap dengan catatan dan kewaspadaan. 

Pasalnya, pemulihan ekonomi yang berlangsung, dibayangi tiga fenomena utama dalam beberapa waktu terakhir. Fenomena itu disebut "scarring effect". 

Pertama, normalisasi kebijakan negara maju yang mulai terindikasi dari kenaikan suku bunga AS. 

Kedua, dampak luka memar yang berpengaruh terhadap pemulihan ekonomi, antara lain terhadap pemulihan di sektor dunia usaha dan upaya transformasi di sektor riil untuk mendorong daya saing dan produktivitas, serta transisi ke ekonomi hijau dan keuangan yang berkelanjutan. 

Ketiga, ketegangan geopolitik Rusia-Ukraina yang berdampak pada pemulihan ekonomi global berupa kenaikan harga-harga komoditas global, baik energi dan pangan yang berdampak pada inflasi sejumlah negara. 

Dampak lainnya adalah gangguan dalam mata rantai perdagangan global yang memengaruhi distribusi dan volume perdagangan serta pertumbuhan pada ekonomi global, serta pada jalur keuangan dimana terjadi pembalikan arus modal ke aset yang dianggap aman (safe haven asset) sehingga dapat berdampak pada stabilitas eksternal dan nilai tukar. 

Berbagai isu global muncul berkelindan membentuk spiral masalah ekonomi, termasuk pasar keuangan.

Dalam perkembangan lainnya, perekonomian raksasa China terpaksa mengalami lock down akibat hantaman kembali Covid-19. Sementara perkembangan perang Rusia-Ukraina belum menunjukkan tanda berakhirnya.

Bahkan yang terjadi Rusia dan suporter Ukraina seperti negara-negara NATO saling blokade perdagangan dan transaksi. Arus barang tersendat, bahkan buntu.

Perekonomian raksasa lainnya, Amerika Serikat, mulai mengalami kelangkaan energi dan pangan. Rakyat Amerika mulai teriak, harga-harga kebutuhan utama naik terus.

Menteri Keuangan AS mengakui perekonomiannya memang melambat, namun masih jauh dari kondisi resesi.

Suatu perekonomian dikatakan resesi jika mengalami pertumbuhan ekonomi minus dalam tiga kuartal berturut-turut.

Akibat gempuran inflasi, Bank Sentral AS menaikkan suku bunga 0,75 basis poin. Tujuannya agar uang tersedot masuk ke sistem perbankan, pengukuran kredit melemah, sehingga permintaan barang menurun.

Akan tetapi pada sisi lain, dampak kenaikan suku bunga itu, membuat nilai dollar AS menguat terhadap mata uang lainnya. Aset berdenominasi non-dollar AS dilepas kemudian dikonversi ke dollar AS sebagai safe heaven asset.

Di Indonesia pemodal mulai melepas aset domestik yang nota bene berdenominasi rupiah. Mereka konversi ke dollar. Makanya permintaan dollar menguat. Hukum pasar berlaku. Barang yang diburu (permintaan banyak) mengalami kenaikan harga.

Nilai atau harga dollar naik, artinya rupiah melemah karena untuk mendapatkan satu dollar makin banyak rupiah dibutuhkan.

Persisnya, jika semula kurs rupiah sekitar 14 ribuan per dollar, pekan ini sudah sekitar 15 ribuan.

Pemodal asing, atau yang disebut non-residen melepas aset-aset keuangan rupiah, bukan asumsi.

Bank Indonesia pekan lalu merilis data berdasarkan data transaksi 27 Juni - 30 Juni 2022, nonresiden di pasar keuangan domestik jual neto Rp7,23 triliun. Itu terdiri dari jual neto di pasar Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp3,34 triliun dan jual neto di pasar saham sebesar Rp3,89 triliun.

Berdasarkan data setelmen sampai dengan  30 Juni 2022 (ytd), nonresiden jual neto Rp111,12 triliun di pasar SBN dan beli neto Rp61,82 triliun di pasar saham.

Isu resesi dunia yang semakin menjadi-jadi membuat dollar AS yang menyandang status safe haven menjadi primadona. Tidak hanya Amerika Serikat, beberapa negara juga diperkirakan akan mengalami resesi akibat bank sentralnya yang menaikkan suku bunga secara agresif guna meredam inflasi.

"Banyak bank sentral saat ini mandatnya pada dasarnya berubah menjadi tunggal, yakni menurunkan inflasi," kata Rob Subbraman, Kepala Ekonom Nomura dalam acara Street Signs Asia CNBC International, Selasa (5/7/2022).

Subbraman memproyeksikan dalam 12 bulan ke depan zona euro, Inggris, Jepang, Australia, Kanada dan Korea Selatan juga akan mengalami resesi.

Jika perekonomian dan geopolitik global terus tidak menentu, kelangkaan pangan dan energi kian menjadi, kurs rupiah makin terpuruk, perekonomian Indonesia pun berpotensi terpuruk lebih dalam.

Efek spiral angka psikologis kurs Rp 15 ribuan, seperti lampu kuning bagi Indonesia. Impor bahan baku untuk produksi dalam negeri tersendat. Juga bahan pangan, dan energi. Selain mahal juga memang langka akibat tersendatnya rantai pasokan sebagai dampak perang yang belum menunjukkan tanda-tanda berakhir.

Tersendatnya impor bahan baku bakal mengganggu proses produksi, penurunan produktivitas, dapat berdampak pada pengurangan tenaga kerja lagi. Pengangguran bisa membengkak lagi. Penerimaan negara juga berpotensi menurun.

Bagi pengusaha Indonesia, memegang dollar untuk impor diperlukan demi terjaganya proses produksi. Tetapi ikut menyerbu dollar untuk tujuan spekulatif, juga hanya akan membuat rupiah semakin lemas. Simalakama.

Masih ada modal Indonesia, yakni diuntungkan dengan kenaikan harga komoditas ekspor. Tetapi itu saja tidak cukup.

Diperlukan strategi kebijakan otoritas fiskal, moneter, dan keuangan, serta sektor riil yang benar-benar solid terkoordinasi dengan membentuk pertahanan kuat agar perekonomian tidak bobol lagi.