KOLOM ANDI SURUJI: Rupiah Mulai Meriang, Bersiap yang Terburuk
BERITA ekonomi nasional pekan ini mulai kurang enak dibaca.
Banyak orang yang panas dingin.
Rupiah tembus angka
psikologis Rp 15 ribuan per dollar Amerika Serikat. Suhu perekonomian juga
mulai hangat.
Di penghujung pekan lalu, Badan Pusat Statistik mengumumkan
angka inflasi yang cukup tinggi, 0,61 persen. Harga-harga melonjak, artinya.
Beberapa waktu lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati
sudah mengingatkan. Perekonomian global sedang "tidak baik-baik
saja".
Pada minggu keempat Mei itu beberapa indikator ekonomi
nasional cukup baik. Namun perkembangan global dapat bertransmisi dengan cepat
ke perekonomial nasional.
Bank Indonesia juga memberi peringatan. Perekonomian global
dilanda "scarring effect". Efek menakutkan.
Pada Maret 2021, berbagai indikator menunjukkan pemulihan
ekonomi global yang berlangsung, termasuk di Indonesia, patut disambut baik,
namun tetap dengan catatan dan kewaspadaan.
Pasalnya, pemulihan ekonomi yang berlangsung, dibayangi tiga
fenomena utama dalam beberapa waktu terakhir. Fenomena itu disebut
"scarring effect".
Pertama, normalisasi kebijakan negara maju yang mulai
terindikasi dari kenaikan suku bunga AS.
Kedua, dampak luka memar yang berpengaruh terhadap pemulihan
ekonomi, antara lain terhadap pemulihan di sektor dunia usaha dan upaya
transformasi di sektor riil untuk mendorong daya saing dan produktivitas, serta
transisi ke ekonomi hijau dan keuangan yang berkelanjutan.
Ketiga, ketegangan geopolitik Rusia-Ukraina yang berdampak
pada pemulihan ekonomi global berupa kenaikan harga-harga komoditas global,
baik energi dan pangan yang berdampak pada inflasi sejumlah negara.
Dampak lainnya adalah gangguan dalam mata rantai perdagangan
global yang memengaruhi distribusi dan volume perdagangan serta pertumbuhan
pada ekonomi global, serta pada jalur keuangan dimana terjadi pembalikan arus
modal ke aset yang dianggap aman (safe haven asset) sehingga dapat berdampak
pada stabilitas eksternal dan nilai tukar.
Berbagai isu global muncul berkelindan membentuk spiral
masalah ekonomi, termasuk pasar keuangan.
Dalam perkembangan lainnya, perekonomian raksasa China
terpaksa mengalami lock down akibat hantaman kembali Covid-19. Sementara
perkembangan perang Rusia-Ukraina belum menunjukkan tanda berakhirnya.
Bahkan yang terjadi Rusia dan suporter Ukraina seperti
negara-negara NATO saling blokade perdagangan dan transaksi. Arus barang
tersendat, bahkan buntu.
Perekonomian raksasa lainnya, Amerika Serikat, mulai
mengalami kelangkaan energi dan pangan. Rakyat Amerika mulai teriak, harga-harga
kebutuhan utama naik terus.
Menteri Keuangan AS mengakui perekonomiannya memang
melambat, namun masih jauh dari kondisi resesi.
Suatu perekonomian dikatakan resesi jika mengalami
pertumbuhan ekonomi minus dalam tiga kuartal berturut-turut.
Akibat gempuran inflasi, Bank Sentral AS menaikkan suku
bunga 0,75 basis poin. Tujuannya agar uang tersedot masuk ke sistem perbankan,
pengukuran kredit melemah, sehingga permintaan barang menurun.
Akan tetapi pada sisi lain, dampak kenaikan suku bunga itu,
membuat nilai dollar AS menguat terhadap mata uang lainnya. Aset berdenominasi
non-dollar AS dilepas kemudian dikonversi ke dollar AS sebagai safe heaven
asset.
Di Indonesia pemodal mulai melepas aset domestik yang nota
bene berdenominasi rupiah. Mereka konversi ke dollar. Makanya permintaan dollar
menguat. Hukum pasar berlaku. Barang yang diburu (permintaan banyak) mengalami
kenaikan harga.
Nilai atau harga dollar naik, artinya rupiah melemah karena
untuk mendapatkan satu dollar makin banyak rupiah dibutuhkan.
Persisnya, jika semula kurs rupiah sekitar 14 ribuan per
dollar, pekan ini sudah sekitar 15 ribuan.
Pemodal asing, atau yang disebut non-residen melepas
aset-aset keuangan rupiah, bukan asumsi.
Bank Indonesia pekan lalu merilis data berdasarkan data
transaksi 27 Juni - 30 Juni 2022, nonresiden di pasar keuangan domestik jual
neto Rp7,23 triliun. Itu terdiri dari jual neto di pasar Surat Berharga Negara
(SBN) sebesar Rp3,34 triliun dan jual neto di pasar saham sebesar Rp3,89
triliun.
Berdasarkan data setelmen sampai dengan 30 Juni 2022 (ytd), nonresiden jual neto
Rp111,12 triliun di pasar SBN dan beli neto Rp61,82 triliun di pasar saham.
Isu resesi dunia yang semakin menjadi-jadi membuat dollar AS
yang menyandang status safe haven menjadi primadona. Tidak hanya
Amerika Serikat, beberapa negara juga diperkirakan akan mengalami resesi akibat
bank sentralnya yang menaikkan suku bunga secara agresif guna meredam inflasi.
"Banyak bank sentral saat ini mandatnya pada dasarnya
berubah menjadi tunggal, yakni menurunkan inflasi," kata Rob Subbraman,
Kepala Ekonom Nomura dalam acara Street Signs Asia CNBC International,
Selasa (5/7/2022).
Subbraman memproyeksikan dalam 12 bulan ke depan zona euro,
Inggris, Jepang, Australia, Kanada dan Korea Selatan juga akan mengalami
resesi.
Jika perekonomian dan geopolitik global terus tidak menentu,
kelangkaan pangan dan energi kian menjadi, kurs rupiah makin terpuruk, perekonomian
Indonesia pun berpotensi terpuruk lebih dalam.
Efek spiral angka psikologis kurs Rp 15 ribuan, seperti
lampu kuning bagi Indonesia. Impor bahan baku untuk produksi dalam negeri
tersendat. Juga bahan pangan, dan energi. Selain mahal juga memang langka
akibat tersendatnya rantai pasokan sebagai dampak perang yang belum menunjukkan
tanda-tanda berakhir.
Tersendatnya impor bahan baku bakal mengganggu proses
produksi, penurunan produktivitas, dapat berdampak pada pengurangan tenaga
kerja lagi. Pengangguran bisa membengkak lagi. Penerimaan negara juga
berpotensi menurun.
Bagi pengusaha Indonesia, memegang dollar untuk impor
diperlukan demi terjaganya proses produksi. Tetapi ikut menyerbu dollar untuk
tujuan spekulatif, juga hanya akan membuat rupiah semakin lemas. Simalakama.
Masih ada modal Indonesia, yakni diuntungkan dengan kenaikan
harga komoditas ekspor. Tetapi itu saja tidak cukup.
Diperlukan strategi kebijakan otoritas fiskal, moneter, dan
keuangan, serta sektor riil yang benar-benar solid terkoordinasi dengan
membentuk pertahanan kuat agar perekonomian tidak bobol lagi.