KOLOM ANDI SURUJI : Power House Kalla Group
POWER House dalam terminologi teknologi diartikan sebagai pembangkit listrik. Tetapi dalam catatan ini, saya ingin memberi pemaknaan lain istilah tersebut, yaitu "rumah energi". Ya rumah energi pembangkit ekonomi.
Kalla Group, sebagai sebuah korporasi besar, memang bukan hanya memiliki pembangkit listrik, yang diresmikan Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu.
Kalla yang telah mencapai usia 70 tahun, pada 18 Oktober lalu, juga bukan saja telah pindah kuadran bisnis, dari sekadar usaha dagang di awal didirikannya oleh pengusaha Bone, Haji Kalla.
Kalla telah bertransformasi dan bermetafosa menjadi sebuah korporasi yang berfungsi sebagai rumah energi pembangkit ekonomi, lokomotif penggerak gerbong bisnis. Secara internal maupun eksternal. Pada skala global, nasional, terutama regional bagian timur Indonesia.
Menengok jauh ke belakang awal pendiriannya, NV Hadji Kalla, hingga kini disebut Kalla Group (karena tentu sudah banyak anak dan cucu perusahaannya di bidang perdagangan, transportasi, infrastruktur, properti, manufaktur, energi, hingga pendidikan) bukanlah usaha komersial yang mulus-mulus saja. Jatuh dari langit.
Di awal-awal pendiriannya, Kalla pun berdarah-darah merasakan kondisi ekonomi negeri yang hiper inflasi. Sampai peristiwa moneter dramatis, pemangkasan nilai mata uang (sanering) dari seribu menjadi satu rupiah. Belum lagi instabilitas politik dan keamanan daerah tempatnya berusaha.
Peristiwa itu membuat banyak usaha (terutama di Makassar) yang kelimpungan dan bangkrut. Beberapa memang tidak kolaps seketika, tetapi linglung, oleng, disorientasi, dan berujung pada kebangkrutan total.
Kalla selamat. Salah satu pilar kunci (key person) yang visioner meski cuma berpendidikan rendah, ialah Hajjah Athirah, istri Haji Kalla.
Saya berani mengatakan almarhum visioner, karena seperti itulah cerita HM Jusuf Kalla, sebagaimana tertuang dalam buku "JK Ensiklopedia". Buku itu saya tulis bersama Husain Abdullah dan Neneng Herbawati (2012).
Era itu, pengusaha tradisional tentu saja belum mengenal hedging, istilah untuk lindung nilai yang kita kenal sekarang. Tetapi Hajjah Athirah telah melakukannya secara sadar maupun tidak, karena dipicu intuisi bisnisnya.
Ia menggunakan uangnya dari keuntungan berdagang aneka jenis barang ala emak-emak "jaman now" dengan membeli emas. Emas itu dikumpulkan sekeping demi sekeping. Dan hanya Jusuf Kalla anaknya yang tahu tempat penyimpanannya.
Mau tahu? Di sebuah lubang yang digali di antara tegel lantai rumah di bawah tempat tidur. Emas-emas itulah yang kelak dijual untuk membiayai perusahaan agar tetap survive dan bahkan berkelanjutan hingga kini, sebagaimana eksistensinya pada detik ini.
Ada pelajaran manajerial bisnis yang dapat dipetik dari Hj Athirah itu. Masih relevan pada era modern ini, yang penuh dengan ketidakpastian, instabilitas ekonomi dan bisnis.
Pesan moralnya, janganlah memakan semua keuntungan, apalagi modal perusahaan. Berjaga-jagalah dengan melakukan hedging sebagaimana lindung nilai tradisional yang dilakukan Hj Athirah dalam pemupukan dan pembentukan modal usaha.
Akan tetapi nilai-nilai yang diterapkan Kalla dari generasi pendiri ke generasi berikutnya, ialah kedisiplinan dalam berbagai hal, profesionalitas, dan manajerial yang kuat. Tanpa melupakan, bahkan beriringan dengan upaya pembentukan dan pemupukan modal sosial dan modal religiositas.
Di usia 70 tahun, estafet kepemimpinan Kalla telah berada di tangan generasi ketiga. Generasi pertama pendiri Haji Kalla dan Hj Athirah. Generasi kedua, di tangan Jusuf Kalla dan Fatimah Kalla. Kini generasi ketiga di tangan anak muda Solihin Jusuf Kalla.
Solihin boleh santai, tetapi tidak boleh lengah. Beban di pundaknya, di pikirannya, tentulah tak kalah besar dan berat ketimbang tanggung jawab dua generasi pendahulunya.
Tantangan dunia usaha ke depan bahkan semakin berat dan beragam. Dinamika geopolitik dan ekonomi global, dapat seketika memunculkan perubahan yang tak jelas arahnya. Menjadi mimpi buruk bagi pemimpin perusahaan dan usahanya, manakala tidak melakukan analisis dan antisipasi yang terstruktur dan terukur.
Tetapi Solihin tampaknya telah memahami itu. Dalam Town Hall Meeting yang dipimpinnya di HUT 70 Kalla, ia mengangkat isu tantangan dan ancaman resesi yang dihadapi dunia. Ia pun telah menegaskan bahwa Kalla bukan sekadar harus dapat survive tetapi bagaimana sustainabilitas korporasi dapat tercapai.
Kuncinya, inovasi. Itulah sebabnya Kalla menggelar "Kalla Open Innovation" dimana semua Insan Kalla berkesempatan untuk menjadi CEO dan berkolaborasi dengan seluruh bisnis KALLA.
Saat ini ada 137 ide inovasi yang telah didaftarkan. Nantinya ide yang terpilih akan mendapatkan mentoring dan dukungan untuk menjalankan ide bisnis tersebut.
Beruntung Solihin dikelilingi Kalla People yang muda, energik, well educated, profesional, berdedikasi, antisipatif dan inovatif.
Hasil asesmen dan demografi karyawan yang dilakukan, ternyata insan Kalla (Kalla People) didominasi kalangan millennial hingga 59,47 persen. Tentu ini sebuah energi besar, yang dapat menjadi kreator-kreator milestone di masa yang akan datang, sejauh dapat diakomodasi dan dikontrol sesuai visi dan misi korporasi.
Dengan demikian, Kalla Group benar-benar menjadi rumah energi bagi ekonomi negeri dan kesejahteraan bangsa.