KOLOM ANDI SURUJI: Sulsel dan Coronomics

Beras - (foto by Fidar)

SITUASI dan kondisi perekonomian di era pandemi Covid-19 ini kita istilahkan saja "Coronomics" atau ekonomi corona. Babak belur dan diliputi ketidakpastian luar biasa.

Sektor usaha tunggang langgang karena tidak siap menghadapi serangan mendadak virus yang mematikan itu. Sejumlah sektor usaha juga pasrah menerima nasib karena tidak punya pilihan lain kecuali istirahat, menutup sementara usahanya. 

Negara (pemerintah) yang semula sangat percaya diri, juga pada akhirnya takluk. Bertekuk lutut dan terpaksa lari ke pemodal mencari utangan.

Rasa pe-de pemerintah itu setidaknya terkesan dari pernyataan menteri yang memandang remeh virus itu. Ada yang bilang Corona tidak akan sampai ke Indonesia karena cuaca yang berbeda. 

Corona tidak akan masuk karena perizinan susah. Atau yang mengatakan orang Indonesia tidak akan terinfeksi virus Covid karena makan nasih kucing. Sampai pada pernyataan "sembuh sendiri". Seorang teman mengatakan, itulah lelucon yang tak lucu. 

Sebaran Covid-19 bak lagu Bengawan Solo, mengalir jauh. Dampaknya pun jauh sampai ke desa-desa.

Pertanian, usaha-usaha menengah, kecil dan mikro semua merasakan. Jantung perekonomian rakyat, yaitu sektor informal, pun seolah berhenti berdenyut.

Pada tingkat regional, Sulawesi Selatan misalnya, perekonomian sudah terpuruk cukup dalam.

Salah satu indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi di suatu negara dalam suatu periode tertentu adalah data Produk Domestik Bruto (PDB), baik atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan. Untuk ekonomi suatu wilayah diukur dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).

PDRB pada dasarnya merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan seluruh unit usaha dalam suatu wilayah tertentu. Atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan seluruh unit ekonomi. 

PDRB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada setiap tahun. Adapun PDRB atas dasar harga konstan menunjukkan nilai tambah barang dan jasa tersebut yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada satu tahun tertentu sebagai dasar.

PDRB atas dasar harga berlaku dapat digunakan untuk melihat pergeseran dan struktur ekonomi, sedang harga konstan digunakan untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun.

Untuk Triwulan I-2020 terhadap triwulan sebelumnya, perekonomian Sulsel, turun atau mengalami kontraksi sampai tercatat minus 2,91 persen (q-to-q).

Dari sisi produksi penurunan disebabkan kontraksi pada beberapa lapangan usaha. Sementara di sisi pengeluaran penurunan disebabkan hampir seluruh komponen pembentukan perekonomian yang terkontraksi, kecuali Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga (PK-RT).

Perekonomian Sulsel yang diukur  berdasarkan besaran PDRB atas dasar harga berlaku triwulan I-2020 mencapai Rp 123,77 triliun dan atas dasar harga konstan 2010 mencapai Rp 80,14 triliun.

Ekonomi Sulsel triwulan I-2020 terhadap triwulan I-2019 memang masih tumbuh 3,07 persen (y-on-y), tetapi melambat dibanding capaian triwulan I-2019 yang 6,58 persen. Dari sisi produksi, pertumbuhan tertinggi dicapai Lapangan Usaha Pertambangan dan Penggalian yang tumbuh 12,57 persen. Dari sisi pengeluaran, pertumbuhan tertinggi dicapai Komponen Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga (PK-RT) yang tumbuh 5,72 persen.

Sektor terdampak.

Di Sulsel, sektor bisnis yang paling terdampak, yakni jasa, pariwisata, perdagangan, dan konstruksi. Ketika kontruksi terkena, dampaknya sangat luas. Properti misalnya. Macetnya mesin properti berarti akan terpengaruh 70 jenis usaha, dari pabrik semen sampai pedagang pasir dan krikil.

Pandemi Covid-19 menekan berat usaha pariwisata. Perhimpunan Hotel dan Restoran (PHRI) daerah ini mengakui mulai “terinfeksi Corona” sejak Februari 2020. Wisatawan mancanegara yang datang ke Sulsel selama tiga bulan pertama 2020 melalui Bandara Sultan Hasanuddin hanya 3.572 orang, anjlok (minus) 26 persen dibanding jumlah wisman tiga bulan terakhir 2014. Dibanding triwulan yang sama tahun 2019, turun 12,5 persen.

Dalam penelusuran saya ke beberapa hotel, rata-rata bagian reservasi mengakui tamu hotel yang menginap anjlok serapat-rapatnya. Salah satu hotel berbintang dengan jumlah kamar sekitar 200, yang selama ini membukukan okupansi (tingkat hunian) rata-rata 70 persen, pada hari itu di awal April hanya terisi hanya 15 kamar. “Sedih. Nangis, Pak,” ujar seorang GM Hotel di Kawasan Losari. 

Di sektor ketenagakerjaan, Dinasnaker Sulsel mencatat sudah ada 237 perusahaan melaporkan mengalami penurunan kinerja. Sebanyak 10.091 pekerja telah dirumahkan, 186 di antaranya mengalami Pemutusan Hubungan Kerja. Gelombang PHK pasti masih akan berlanjut, karena daya tahan perusahaan bakal kian menurun.

Bagi Sulsel, sektor pertanian perlu mendapat perhatian serius. Cuaca yang tidak menentu pada 2019 mengakibatkan terjadinya pergeseran musim tanam-panen pada triwulan-I atau periode Januari - Maret. Luas panen padi dan jagung yang merupakan andalan Susel, turun hampir 50 persen. Angka penurunan 50 persen juga terjadi pada sisi produksi. 

Angka-angka yang kurang enak itu baru memperhitungkan faktor cuaca. Belum membukukan dampak buruk dan lanjutan dari aturan pembatasan sosial. Waspadalah...