KOLOM ANDI SURUJI : Golf, Simpul Ekonomi Daerah yang Perlu Diurai

. Minggu, 21 April 2019 12:55
Golf, Simpul Ekonomi Daerah yang Perlu Diurai - (foto by Andi Suruji)

Dalam benak dan pikiran banyak kalangan, golf adalah olahraga mahal dan ekslusif. Golf dituding hanya permainannya orang tua yang rela menghabiskan banyak waktu bermain di lapangan.

Itu benar, walaupun tidak sepenuhnya. Patut digarisbawahi, lapangan golf juga arena negosiasi bisnis yang tidak kalah produktifnya dibandingkan rapat bisnis yang menghabiskan waktu lama di ruang-ruang berpendingin udara.

Tidak sedikit negosiasi bisnis bernilai besar yang mencapai kesepakatan di lapangan golf. Banyak kebuntuan negosiasi dapat terurai di lapangan golf.

Kini saatnya memandang golf dari sisi lain. Ya tidak lagi sekadar olahraga hobi dan kesenangan orang tua belaka. Golf musti diteropong secara jeli sebagai salah satu simpul bisnis yang perlu diurai menjadi sumbu-sumbu untuk menyalakan perekomian daerah yang lebih terang.

Betapa tidak. Luar biasa Gober (golf bersama) seri-8 yang digelar Makassar Golf Community, di Lapangan Golf Baddoka, Sabtu 20 April 2019.

Peminatnya mencapai 165 pegolf dari berbagai daerah. Ada yang dari Kalimantan, Jawa Barat, Jawa Timur, Jakarta dan Banten, serta daerah lainnya.

Padahal, baru dua minggu lalu salah satu turnamen terbuka digelar Celebes Media dan harian Tribun Timur. Organisasi notaris juga akan membuat turnamen skala nasional di Makassar sehubungan dengan Kongres nasionalnya.

Animo ini harus ditangkap oleh pemerintah daerah Sulsel dan Kota Makassar sebagai peluang yang menjanjikan harapan besar untuk menggairahkan bisnis dan ekonomi daerah.

Kolaborasi antara pemerintah daerah, Pengurus Daerah Persatuan Golf Indonesia, Perhimpunan Hotel dan Restoran dan kalangan bisnis dan profesi lainnya, mutlak bersinergi kuat.

Dunia kini bergerak menuju sharing economy, sharing business, yang semakin kuat. Kerja kolaboratif, sinergi dan silaturrahim, adalah suatu keniscayaan. Siapa yang tidak masuk rantai jaringan itu, mereka bakal tertinggal, bahkan tergilas zaman.

Birokrat juga sudah harus berjiwa enterpreneurial. Berkolaborasi dengan swasta menciptakan peluang bisnis dan menangkap momentum yang terjadi, mendinamisir perekonomian untuk menggerakkan ekonomi. Ujungnya, meningkatkan pendapatan daerah, langsung maupun melalui usaha partikelir.

Pemerintah melalui dinas pariwisata misalnya, sudah harus memiliki turnamen golf yang merupakan agenda tahunan dalam kalender kegiatan pariwisata, bisnis dan investasi.

Kolaborasi produktif dengan stakeholder golf dan bisnis, kepariwisataan, mutlak diperkuat, sehingga golf menjadi sarana bersama untuk mencapai tujuan masing-masing maupun benefit bersama.

Istilah sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui pas. Sekali menggelar turnamen golf, banyak urusan dapat diselesaikan dan mencapai multi benefit.

PHRI misalnya, jangan hanya mengeluh meminta pemerintah menurunkan harga tiket pesawat yang melambung tinggi. Bahwa salah satu alasan menurunnya tingkat hunian hotel adalah melonjaknya harga tiket, sehingga masyarakat menahan diri untuk pelisiran.

Menyalakan lilin lebih baik daripada menangisi kegelapan. Dengan berkolaborasi menggelar turnamen golf, dunia kepariwisataan daerah bisa bergairah, termasuk tingkat hunian hotel.

Salah satu dasar argumentasinya, adalah pengalaman rumah makan. Jika ada even nasional yang digelar di Makasar barang dua tiga hari, maka omset rumah makan melonjak pula. Tentu hal yang sama pasti dirasakan kalagan perhotelan dan restoran.

Dapat dibayangkan, jika pemprov Sulsel memiliki agenda tetap turnamen golf berskala nasional tiga kali dalam setahun dan sekali skala regional atau sekalian turnamen berskala internasional.

Ajang tersebut digunakan untuk menjual potensi daerah, peluang bisnis dan investasi, serta mempromosikan kepariwisataan daerah-daerah. Pada titik ini, pemerintah kota dan kabupaten pemain utamanya.

Bukankah biaya marketingnya jauh lebih murah, ketimbang misalnya membawa “rombongan sirkus” atas nama promosi daerah ke luar negeri dengan hasil yang dipertanyakan?

Pola kerja lama itu benefitnya bagi perekonomian kecil, kecuali anggota rombongan promosi yang menikmati jalan-jalan dengan biaya dari pundi-pundi keuangan daerah?

Berubalah pola pikir dan pola kerja birokrat ke trek yang lebih efisien biayanya dan efektif hasilnya. Come On...!