KOLOM ANDI SURUJI: Ketika Ekonomi Sulsel Perlu Infus

Ilustrasi Rupiah - (foto by Pixabay)

CERITA perekonomian Sulawesi Selatan semakin bikin panas dingin. Seperti orang sakit, loyo kurang bertenaga. Perlu diinfus untuk sehat dan lebih bergairah kembali.

Sudah dua kuartal atau triwulan berturut, yaitu triwulan I-2024 terhadap triwulan IV-2023, dan triwulan IV-2023 terhadap triwulan III-2023, kinerja pertumbuhannya minus. Bahasa halusnya kontraksi.

Sulsel yang dahulu selalu mencatat pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dari rata-rata kinerja perekonomian nasional kini harus kalkulasi ulang. Alarm perekonomian itu sudah berdering. Bertalu-talu membangunkan pemerintah. Untuk bangkit bersama para stakeholder, berlari memperbaiki kinerja dan mengejar ketertinggalan.

Menurut data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) Sulsel, Senin (6/5/2024) lalu, ekonomi Sulawesi Selatan triwulan I-2024 terhadap triwulan sebelumnya mengalami kontraksi pertumbuhan sangat signifikan sebesar -4,63 persen (q-to-q) alias minus mengkerut.

Dari sisi produksi pada triwulan I-2024, Lapangan Usaha Pertanian, Kehutanan dan Perikanan memang masih mengalami pertumbuhan tertinggi sebesar 8,81 persen. Akan tetapi, dari sisi pengeluaran, Komponen Pengeluaran Pemerintah (PK-P) mengalami kontraksi pertumbuhan terparah sebesar -49,73 persen.

Kondisi itu seperti menggambarkan dan menegaskan pernyataan Pj Gubernur Sulsel Bahtiar Baharuddin yang dilontarkan dalam berbagai kesempatan dan diberitakan media bahwa keuangan Pemprov bangkrut, dan banyak utang yang sulit terbayar.

Sebagai referensi, pertumbuhan ekonomi triwulan IV-2023 pun mengalami kontraksi -1,47 persen terhadap triwulan III-2023.

Berdasarkan besaran Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku, perekonomian Sulawesi Selatan  triwulan I-2024 mencapai Rp161,21 triliun dan atas dasar harga konstan 2010 mencapai Rp92,04 triliun.

Pada kuartal III-2023 besaran PDRB Sulsel atas dasar harga berlaku mencapai 169,89 triliun dan atas harga konstan 2010 sebeaar Rp 97,95 triliun

Artinya dalam dua kuartal nilai PDRB sudah mengkerut sekitar Rp 8,7 triliun berdasarkan harga berlaku. Bukan angka kecil.

PDRB pada dasarnya merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu daerah tertentu, atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi pada suatu daerah.

Adapun PDB atau Produk Domestik Bruto skala ukurannya ialah suatu wilayah negara atau perekonomian nasional.

Jika perekonomian suatu negara mengalami pertumbuhan minus dua atau tiga kali kuartal secara berturut, kondisi itulah yang disebut resesi. Nah tentu ekonomi daerah juga dapat dianalogikan seperti itu.

Dari banyak definisi, resesi ekonomi secara sederhana dapat diartikan sebagai suatu kondisi dimana perekonomian suatu negara sedang memburuk yang terlihat dari Produk Domestik Bruto (PDB) yang negatif, pengangguran meningkat, maupun pertumbuhan ekonomi riil bernilai negatif selama dua kuartal berturut-turut.

Pertumbuhan ekonomi yang positif sejatinya membuka lapangan kerja baru. Itu pun kalau pertumbuhan ekonomi yang dominan didorong oleh investasi. Karena investasi baru biasanya membutuhkan penyerapan tenaga kerja sehingga membuka lapangan kerja baru.

Dalam banyak hal pertumbuhan ekonomi tidak serta merta membuka lapangan kerja baru. Ketika pertumbuhan ekonomi lebih bamyak didorong konsumsi maka produsen barang konsumen tidak serta merta membutuhkan investasi baru. Mereka hanya mengoptimalkan kapasitas yang ada, dan tidak meningkatkan tambahan pekerja baru.

Ketika pertumbuhan ekonomi minus jelas tidak ada harapan penciptaan lapangan kerja. Yang terjadi malah bisa sebaliknya, pemutusan hubungan kerja bagi pekerja yang ada (existing).

Ketika kondisi itu terjadi, maka pengangguran meningkat, dan ancaman kemiskinan menganga. Setidaknya, barisan pengangguran bertambah panjang, pendapatan rumah tangga menurun, lalu daya beli masyarakat pada umumnya juga anjlok.

Itulah sebabnya, ketika pertumbuhan ekonomi minus, inflasi menurun karena daya beli masyarakat merosot. Jadi kalau inflasi rendah, pemerintah daerah tidak bisa seketika tepuk tangan apalagi tepuk dada.

Boleh jadi kondisi itu terjadi bukan karena kemampuan Tim Pengendalian Inflasi Daerah mengatasi  gejolak inflasi. Akan tetapi daya beli masyarakat yang memang sudah merosot cukup parah.

Dampaknya, daya beli merosot membuat permintaan barang konsumen anjlok. Permintaan merosot jelas menyebabkan harga tidak bergejolak, tidak meningkat. Bahkan bisa terjadi deflasi (harga jatuh).

Jika sekian tahun lamanya pertumbuhan ekonomi Sulsel selalu positif dan angkanya di atas rerata nasional, timbul pertanyaan dan catatan yang memerlukan jawaban akurat.

Jangan-jangan banjir dan longsor di sejumlah daerah belakangan ini merupakan dampak negatif dari pertumbuhan ekonomi masa lalu tersebut. Yaitu, terkurasnya sumber daya alam, menyisakan kerusakan lingkungan di hulu akibat kegiatan pertambangan. Rusaknya catchment area yang menimbulkan bencana ekologis.

Kalau itu benar, maka pembangunan ekonomi Sulsel sejatinya hanya menghitung surplus output ekonomi, namun tekor dalam hal keberlanjutan ekosistem dan ekologis yang parah.

Pembangunan untuk keadilan dan kemakmuran bagi semua cuma jargon jadinya. Bukan mensejahterakan rakyat kebanyakan. Melainkan kesejahteraan bagi investor.

Anehnya, meskipun kondisi perekonomian cukup mengkhawatirkan seperti itu, tampaknya para stakeholder perekonomian tenang-tenang saja. Wakil rakyat di DPRD seharusnya memanggil pemerintah, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, Kadin Daerah dan Apindo untuk menjelaskan situasi dan kondisi tetsebut. Didisikusikan dan dicari solusi persoalannya.

Nyatanya tidak. Entah karena sudah hampir berakhir masa jabatannya, pimpinan dan anggota DPRD seolah tidak peduli lagi semua itu. Seolah semua baik-baik saja. Atau jangan-jangan anggota DPRD kurang peduli dengan indikator makroekonomi seperti itu. Mereka lebih fasih dan faham membahas anggaran karena di sana biasanya ada proyek bagi-bagi dan titip menitip program.