KOLOM ANDI SURUJI: Ketika Ekonomi Sulsel Perlu Infus
CERITA perekonomian Sulawesi Selatan semakin bikin panas
dingin. Seperti orang sakit, loyo kurang bertenaga. Perlu diinfus untuk sehat
dan lebih bergairah kembali.
Sudah dua kuartal atau triwulan berturut, yaitu triwulan
I-2024 terhadap triwulan IV-2023, dan triwulan IV-2023 terhadap triwulan
III-2023, kinerja pertumbuhannya minus. Bahasa halusnya kontraksi.
Sulsel yang dahulu selalu mencatat pertumbuhan ekonomi lebih
tinggi dari rata-rata kinerja perekonomian nasional kini harus kalkulasi ulang.
Alarm perekonomian itu sudah berdering. Bertalu-talu membangunkan pemerintah.
Untuk bangkit bersama para stakeholder, berlari memperbaiki kinerja dan
mengejar ketertinggalan.
Menurut data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS)
Sulsel, Senin (6/5/2024) lalu, ekonomi Sulawesi Selatan triwulan I-2024
terhadap triwulan sebelumnya mengalami kontraksi pertumbuhan sangat signifikan
sebesar -4,63 persen (q-to-q) alias minus mengkerut.
Dari sisi produksi pada triwulan I-2024, Lapangan Usaha
Pertanian, Kehutanan dan Perikanan memang masih mengalami pertumbuhan tertinggi
sebesar 8,81 persen. Akan tetapi, dari sisi pengeluaran, Komponen Pengeluaran
Pemerintah (PK-P) mengalami kontraksi pertumbuhan terparah sebesar -49,73
persen.
Kondisi itu seperti menggambarkan dan menegaskan pernyataan
Pj Gubernur Sulsel Bahtiar Baharuddin yang dilontarkan dalam berbagai
kesempatan dan diberitakan media bahwa keuangan Pemprov bangkrut, dan banyak utang
yang sulit terbayar.
Sebagai referensi, pertumbuhan ekonomi triwulan IV-2023 pun
mengalami kontraksi -1,47 persen terhadap triwulan III-2023.
Berdasarkan besaran Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
atas dasar harga berlaku, perekonomian Sulawesi Selatan triwulan I-2024 mencapai Rp161,21 triliun dan
atas dasar harga konstan 2010 mencapai Rp92,04 triliun.
Pada kuartal III-2023 besaran PDRB Sulsel atas dasar harga
berlaku mencapai 169,89 triliun dan atas harga konstan 2010 sebeaar Rp 97,95
triliun
Artinya dalam dua kuartal nilai PDRB sudah mengkerut sekitar
Rp 8,7 triliun berdasarkan harga berlaku. Bukan angka kecil.
PDRB pada dasarnya merupakan jumlah nilai tambah yang
dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu daerah tertentu, atau merupakan jumlah
nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi pada
suatu daerah.
Adapun PDB atau Produk Domestik Bruto skala ukurannya ialah
suatu wilayah negara atau perekonomian nasional.
Jika perekonomian suatu negara mengalami pertumbuhan minus
dua atau tiga kali kuartal secara berturut, kondisi itulah yang disebut resesi.
Nah tentu ekonomi daerah juga dapat dianalogikan seperti itu.
Dari banyak definisi, resesi ekonomi secara sederhana dapat
diartikan sebagai suatu kondisi dimana perekonomian suatu negara sedang
memburuk yang terlihat dari Produk Domestik Bruto (PDB) yang negatif,
pengangguran meningkat, maupun pertumbuhan ekonomi riil bernilai negatif selama
dua kuartal berturut-turut.
Pertumbuhan ekonomi yang positif sejatinya membuka lapangan
kerja baru. Itu pun kalau pertumbuhan ekonomi yang dominan didorong oleh
investasi. Karena investasi baru biasanya membutuhkan penyerapan tenaga kerja
sehingga membuka lapangan kerja baru.
Dalam banyak hal pertumbuhan ekonomi tidak serta merta
membuka lapangan kerja baru. Ketika pertumbuhan ekonomi lebih bamyak didorong
konsumsi maka produsen barang konsumen tidak serta merta membutuhkan investasi
baru. Mereka hanya mengoptimalkan kapasitas yang ada, dan tidak meningkatkan
tambahan pekerja baru.
Ketika pertumbuhan ekonomi minus jelas tidak ada harapan
penciptaan lapangan kerja. Yang terjadi malah bisa sebaliknya, pemutusan
hubungan kerja bagi pekerja yang ada (existing).
Ketika kondisi itu terjadi, maka pengangguran meningkat, dan
ancaman kemiskinan menganga. Setidaknya, barisan pengangguran bertambah
panjang, pendapatan rumah tangga menurun, lalu daya beli masyarakat pada umumnya
juga anjlok.
Itulah sebabnya, ketika pertumbuhan ekonomi minus, inflasi
menurun karena daya beli masyarakat merosot. Jadi kalau inflasi rendah,
pemerintah daerah tidak bisa seketika tepuk tangan apalagi tepuk dada.
Boleh jadi kondisi itu terjadi bukan karena kemampuan Tim
Pengendalian Inflasi Daerah mengatasi
gejolak inflasi. Akan tetapi daya beli masyarakat yang memang sudah
merosot cukup parah.
Dampaknya, daya beli merosot membuat permintaan barang
konsumen anjlok. Permintaan merosot jelas menyebabkan harga tidak bergejolak,
tidak meningkat. Bahkan bisa terjadi deflasi (harga jatuh).
Jika sekian tahun lamanya pertumbuhan ekonomi Sulsel selalu
positif dan angkanya di atas rerata nasional, timbul pertanyaan dan catatan yang
memerlukan jawaban akurat.
Jangan-jangan banjir dan longsor di sejumlah daerah
belakangan ini merupakan dampak negatif dari pertumbuhan ekonomi masa lalu tersebut.
Yaitu, terkurasnya sumber daya alam, menyisakan kerusakan lingkungan di hulu
akibat kegiatan pertambangan. Rusaknya catchment area yang menimbulkan bencana
ekologis.
Kalau itu benar, maka pembangunan ekonomi Sulsel sejatinya
hanya menghitung surplus output ekonomi, namun tekor dalam hal keberlanjutan
ekosistem dan ekologis yang parah.
Pembangunan untuk keadilan dan kemakmuran bagi semua cuma
jargon jadinya. Bukan mensejahterakan rakyat kebanyakan. Melainkan
kesejahteraan bagi investor.
Anehnya, meskipun kondisi perekonomian cukup mengkhawatirkan
seperti itu, tampaknya para stakeholder perekonomian tenang-tenang saja. Wakil
rakyat di DPRD seharusnya memanggil pemerintah, Bank Indonesia, Otoritas Jasa
Keuangan, Kadin Daerah dan Apindo untuk menjelaskan situasi dan kondisi
tetsebut. Didisikusikan dan dicari solusi persoalannya.
Nyatanya tidak. Entah karena sudah hampir berakhir masa
jabatannya, pimpinan dan anggota DPRD seolah tidak peduli lagi semua itu.
Seolah semua baik-baik saja. Atau jangan-jangan anggota DPRD kurang peduli
dengan indikator makroekonomi seperti itu. Mereka lebih fasih dan faham
membahas anggaran karena di sana biasanya ada proyek bagi-bagi dan titip
menitip program.