KOLOM ANDI SURUJI : Hubungan Industrial dalam Serangan Covid-19
HARI buruh internasional terasa begitu hampa. Tanpa kemeriahan dan hiruk-pikuk peringatan sebagaimana lazimnya di tahun-tahun lalu.
Pada tahun-tahun silam, peringatan hari buruh diwarnai berbagai aksi. Ada unjuk rasa menuntut kenaikan upah, perbaikan kesejahteraan buruh lainnya.
Ada pula unjuk rasa menuntut pencabutan aturan yang merugikan industri dan buruh. Tidak sedikit yang lebih riang, seperti menggelar panggung gembira, bernyanyi dan menari berjoget dangdutan bersama.
Kali ini hari buruh menjadi hampa lantaran semangat dan energi buruh redup digerogoti wabah virus corona (Covid-19). Karena Covid-19, buruh tak perlu bersitegang sampai urat leher keluar untuk mendapatkan hak cuti atau libur. Covid memaksa majikan (perusahaan) meliburkan, merumahkan buruh.
Dalam kehampaan itu, boleh jadi, baik majikan maupun manajemen dan juga buruh, merenung. Betapa rentannya hubungan antara majikan dan buruh menjadi retak berantakan. Seketika dan tanpa negosiasi.
Bukan karena majikan dan buruh berselisih sehingga harus terjadi pemutusan hubungan kerja, buruh dirumahkan, pembayaran gaji (upah) tertunda.
Bukan, bukan semua itu. Akan tetapi karena sebuah mahluk sangat super mikro bernama Covid-19. Majikan, manajemen, buruh, secara serentak tunduk dan takluk.
Buruh yang biasa garang, lunglai tak berdaya menerima ketentuan dirumahkan, bahkan PHK.
Majikan pun pasrah, lemas menerima kenyataan, mesin-mesin pencetak uangnya harus memperlambat jalan, menurunkan kecepatan. Bahkan ada yang harus mematikan total mesinnya.
Belum banyak manajemen perusahaan yang telah menyelesaikan strategi menghadapi fenomena, bahkan hantu global bernama disrupsi.
Belum banyak perusahaan yang menemukan strategi keberlanjutan usaha akibat perang dagang. Belum ditemukan resep mengatasi penurunan bisnis.
Belum tuntas Omnibus Law menjadi undang-undang, yang membuat ketar ketir buruh, maupun pemilik perusahaan.
Belum. Belum semua itu. Lantas datang wabah virus yang merobohkan semua kesombongan, keangkuhan, dan kegarangan.
Hubungan industrial antara majikan dan buruh yang biasanya ketat dan rigid dalam kalkulasi biaya dan produktivitas, antara biaya dan profitabilitas, seketika berubah menjadi hubungan industrial yang lebih humanis.
Bagaimana mengamankan dan menyelamatkan jiwa raga semua. Bukan hanya menyelamatkan keberlangsungan usaha, terus menyalanya mesin-mesin pencetak uang, tetapi juga buruh sebagai faktor produksi. Lebih tinggi lagi menyelamatkan buruh sebagai manusia, mahluk ciptaan Tuhan.
Hubungan industrial yang kapitalistik, karena buruh juga kadang kala berpikir dan bernegosiasi ala materialistik dan kapitalistik, akan bergeser ke kuadran humanisme. Hubungan industrial akan memasuki babak baru karena Covid-19, yang belakangan banyak disebut-sebut sebagai: a new normal.