KOLOM ANDI SURUJI: Kode Bersama Pak Syaf

Syafruddin Kambo saat menghadiri seminar Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Jeddah, Arab Saudi, Oktober 2022 silam - (foto by DMI.or.id)

TERKEJUT dan tergagap saya menerima informasi tentang meninggalnya Komisaris Jenderal Polisi Syafruddin Kambo, Kamis malam Jumat. Seperti tidak percaya, karena sebelumnya tidak pernah terdengar kabar ia sakit.

Sehari sebelumnya, Buyung Wijaya Kusuma, Direktur Tawaf TV mengirimkan video edisi pertama serial "Syiar Syafruddin". Kontennya Pak Syaf, begitu saya menyebut namanya, berkunjung ke Laut Mati yang masuk di wilayah Jordania. Dalam video itu, Pak Syaf menceritakan tentang Laut Mati kaitannya dengan kisah Nabi Luth dan kaum sodom. 

Saya tertarik menontonnya karena saya juga pernah berenang di Laut Mati bersama Pak Aksa Mahmud dan Pak Jusuf Kalla. Waktu itu saya dalam rombongan Pak JK menghadiri pertemuan internasional Palang Merah (Red Cross) dan Bulan Sabit Merah (Red Crescent). Sebelumnya kami berkunjung ke Palestina dan Jerussalem, Tel Aviv, Israel.

Saya mulai dekat dan intens bertemu dengan Pak Syaf ketika masih berpangkat Kombes dan bertugas sebagai ajudan Wakil Presiden Jusuf Kalla (Pak JK). Walaupun tidak lagi bertugas sebagai wartawan Istana, saya selalu bisa mendekati Pak JK kalau pas ada acara-acara Wapres. Saya wartawan Istana Kepresidenan era Presiden BJ Habibie, sehingga paham aturan protokoler Istana dan prosedur keamanan Presiden-Wapres.

Saya hampir selalu bisa mendekati Pak JK karena Pak Syaf selalu memberi saya aba-aba atau kode kalau situasi aman terkendali saya mendekat. "Ji, masuk..." begitu biasanya Pak Syaf memberi aba-aba. 

Atau cukup dengan kode, kami sudah saling paham. Saya cukup angkat tangan, Pak Syaf sudah paham kalau saya hendak mendekat ke Pak JK. Kalau dia mengangguk berarti oke. Kalau dia menggeleng, artinya tidak boleh. Situasi tidak memungkinkan.

Walaupun hubungan saya dengan Pak JK sangat dekat dan akrab, tetapi saya tahu diri. Tidak mau karonjo-ronjo (grusa-grusu). Menghormati Pak Syaf sebagai sahabat dan kapasitasnya sebagai ajudan Pak JK. "Sipakatau" istilah orang Bugis.

Sewaktu mengikuti Pak JK ke Riyad, Arab Saudi, tahun 2007, menghadiri KTT OPEC ke-3, saya satu-satunya wartawan yang diajak masuk ruangan sebagai anggota delegasi Wapres RI. Acara itu dihadiri kepala negara-negara penghasil dan pengekspor minyak dan dibuka oleh Raja Arab Saudi.

Belasan wartawan Indonesia lainnya hanya di luar ruangan. Heran juga sebab wartawan lainnya senior semua dari saya. Usut punya usut, itu karena Pak Syaf yang menentukan saya yang boleh masuk bersama Pak JK.

Masih dalam rangka agenda itu, kalau tidak salah tanggal 18 November 2007, Pak JK bertemu dengan Presiden Iran Ahmadi-Nejad di Kedutaan Iran, Riyad. Saat menunggu Pak JK bertemu Ahmadi-Nejad, Pak Syaf minta difoto. "Foto dulu Ji.." kata Pak Syaf.

Setelah itu, saya juga minta teman memotret saya bersama Pak Syaf dan Pak Asnan, ajudan Wapres dari korps TNI AU. "Penting ini foto bersama calon Kapolri dan KSAU," kata saya. "Aamiin, ucapan itu doa Ji," kata Pak Syaf.

Pak Asnan lebih dahulu berpulang. Pak Syaf hampir jadi Kapolri. Kariernya sampai Wakil Kapolri dengan pangkat Komisaris Jenderal Polisi lalu purnawirawan. Dipercaya menjadi Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.

Ada lagi cerita saya dengan Pak Syaf ketika Pak JK maju sebagai calon Presiden bersama Wiranto, setelah Pak JK berpisah dengan SBY. Saya sering bertemu Pak JK di malam hari untuk menyampaikan info seputar isu-isu yang berkembang di luar. Kadang saya yang minta waktu, kadang pula Pak JK yang meminta saya datang ke rumah jabatan Wapres, Jalan Diponegoro, Jakarta.

Saya selalu mendapat giliran terakhir dari semua orang yang antre. Sudah agak larut malam. Walaupun Pak JK masih bersemangat berdiskusi, tetapi saya harus mengakhiri pertemuan. Pak JK perlu beristirahat karena padatnya aktivitas menjelang Pilpres.

Pak Syaf sebagai ajudan punya cara sendiri untuk memberi saya kode. Kalau Pak Syaf sudah melintas di ruang tengah, agak jauh dari ruang pojok tempat Pak JK menerima tamu, itu berarti kode, waktunya sudah habis. 

Saya kadang pura-pura tidak melihatnya. Juga karena Pak JK masih antusias berdiskusi. Tetapi kalau Pak Syaf sudah melintas kedua atau ketiga kalinya, saya harus tahu diri. Saya pun pamit. Dari jauh Pak Syaf mengacungkan jempol.

Karier Pak Syaf semakin melesat dan tentu saja kian sibuk. Saya baru ketemu lagi di acara pernikahan Ade, anak bungsu Pak JK. Pak Syaf mengenakan pakaian adat Bugis, mengendalikan kelancaran lalu lintas tamu VVIP. Saya dan istri sengaja datang lebih awal, tetapi antrean sudah panjang. 

Kode Pak Syaf ternyata masih berlaku. Ketika melihat saya dalam antrean, dia menggelengkan kepala ke arah saya. Isyarat bahwa saya boleh cabut dari antrean dan berjalan menuju tangga panggung untuk naik ke pelaminan bersalaman dengan pengantin.

Terakhir kali bertemu ketika saya datang  mengundangnya menghadiri resepsi pernikahan anak saya. Saya sempat salat maghrib bersamanya dan makan malam waktu itu sambil bercerita memutar kisah-kisah dan banyak kenangan pengalaman sekian tahun lampau. Pak Syaf mau datang hadiri resepsi anak saya. Sayangnya, tidak sempat karena ada urusan penting malam itu, tugas dari Pak JK.

Pak Syaf orang baik. Kalem, tidak banyak bicara. Berwibawa walau terkesan dingin. Persahabatannya tulus dengan siapa saja. Pemikiran dan pandangannya lurus dan obyektif. 

Di masa pensiun, waktunya dibelanjakan banyak untuk kegiatan sosial, pendidikan dan keagamaan, mengurus umat dan kemanusiaan universal. Saya mendoakan, kiranya para malaikat juga mengurusnya dengan sempurna dalam perjalanan kembali menghadap Sang Pencipta.

Selamat jalan Pak Syaf.