CELEBESMEDIA.ID, Makassar - Ketika membahas konsep korporasi dalam konteks hukum Indonesia, perlu dicatat perbedaan esensial antara pemahaman korporasi dalam hukum perdata dan hukum pidana.

Meskipun keduanya terkait dengan entitas hukum, perspektif dan cakupannya memiliki nuansa yang berbeda.

Dalam kerangka hukum perdata, korporasi didefinisikan sebagai badan hukum (legal person).

Di sini, subjek hukum melibatkan dua kategori, yaitu orang perseorangan (natural person) dan badan hukum (legal person).

Hukum perdata mengakui keberadaan korporasi dan memberikan wewenang hukum untuk melakukan perbuatan hukum dalam domainnya.

Namun, dalam ranah hukum pidana, istilah korporasi melampaui batasan badan hukum.

Selain badan hukum seperti perseroan terbatas, yayasan, dan koperasi, hukum pidana juga mencakup firma, perseroan komanditer (CV), dan persekutuan (maatschap).

Sebagai badan hukum, korporasi memerlukan pendiri-pendiri yang diakui oleh hukum perdata sebagai pihak yang berwenang mendirikannya.

Pendiri ini dapat berupa perorangan atau badan hukum. Di sisi lain, dalam hukum pidana, cakupan korporasi lebih luas dan melibatkan berbagai entitas hukum.

Dalam konteks hukum pidana Indonesia, beberapa undang-undang yang mengatur tindak pidana oleh korporasi meliputi Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan Peraturan Mahkamah Agung No. 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi.

Sebagai contoh, Indonesia memiliki beberapa korporasi terbesar yang merajai berbagai sektor.

PT Bank Rakyat Indonesia Tbk, PT Telekomunikasi Indonesia Tbk, dan PT Astra International Tbk adalah beberapa contoh entitas yang menonjol dalam peran ekonomi Indonesia.

Keberhasilan mereka tercermin dalam laba fantastis yang mereka raih dan posisi mereka di panggung global.***