Aswar Hasan / Foto: Zhizhi

Oleh: Aswar Hasan

TOKOH politik legendaris Rusia Nikita Khrushchev berkata, “Dimana-mana politisi itu sama saja. Mereka suka berjanji. Berjanji membangun jembatan, meski pun sebenarnya di sana tidak ada sungai.”

Dunia politik tanpa janji, laksana langit tak berbintang. Eksistensi dunia politik identik dengan dunia janji. Politisi yang tak pandai berjanji akan terlupakan dan sulit eksis. Peran para politisi dibangun di atas dunia janji.

Bahwa apakah janji itu kelak akan dipenuhi atau tidak, itu soal lain. Toh, hingga kini kita belum mendengar ada politisi yang akhirnya dipidana karena tidak memenuhi janji politiknya.

Paling banter, politisi bersangkutan tidak dipilih lagi, karena ingkar janji, namun, jangan bilang dia politikus kalau tidak bisa berkelit dari janji yang tak pernah ia tunaikan. Ada seribu satu alasan yang bisa membenarkan langkah politiknya.

Definisi politisi atau pun politikus yang kita bincangkan di sini, tidak mesti karena dia orang partai. Politisi itu, bisa saja ia tidak punya partai, tapi punya kekuasaan politik, atau sedang berkiprah dalam peran lingkar kekuasaan, dan memengaruhi keputusan politik (kebijakan publik) sebab, inti politik adalah kekuasaan itu sendiri.

Jadi, siapa pun dan dimana pun, jika orang itu bekerja untuk mendapatkan kekuasaan atau sedang menjalankan kekuasaan, maka sesungguhnya dia itu politisi. Setidaknya dari sudut pandang makna generik dan fungsinya.

Kata halus politisi atau politikus yang identik dengan tukang janji, adalah si pemberi harapan. Dunia tanpa harapan adalah kemandegan, tanpa kemajuan dan miskin dinamika. Meskipun akhirnya semata menjadi politikus PHP (pemberi harapan palsu).

Negara tanpa politikus adalah utopia atau khayalan. Meskipun tidak sedikit negara terpuruk karena ulah politikus yang menyebabkan terjadinya konflik, maraknya korupsi, hingga bangkrut karena salah urus. 

Politikus itu memang multi makna dan fungsi. Bisa jahat dan baik, bisa benar dan salah. Bisa membawa mamfaat atau mudharat, bisa membangkitkan atau menjatuhkan. Bisa benar dan salah.

Ingat, politik tidak mengharamkan sebuah kesalahan, tetapi hanya mewajibkan sebuah kemenangan. Bahkan, ada yang meyakini, lebih baik menang bermasalah, daripada kalah terhormat. Kelicikian lebih penting daripada kecerdasan.

Professor Yusril Ihza Mahendra pun berkata, “Segudang kepintaran tak ada artinya dibanding segenggam kekuasaan.”

Jalan pintas menuju kekuasaan, adalah dengan menebar janji. Jangan mudah menyalahkan politisi yang tak menunaikan janji politiknya, tetapi tanyalah dan persoalkan  diri sendiri mengapa mudah percaya dan terperdaya dengan janji yang berubah kebohongan.

Terlebih jika kembali memilihnya, setelah terbukti pernah berbohong. Jika pada kali pertama ia mendapat kepercayaan dengan berbohong, maka ketika kali kedua dia terpilih lagi karena melupakan kebohongannya, maka pasti akhirnya ia akan membunuhmu secara politik dengan kebohongan yang lalai engkau persoalkan sejak awal.

“Seharusnya kau tidak percaya pada janji. Dunia ini penuh janji: janji tentang kekayaan, keselamatan abadi, cinta tak terbatas. Ada orang-orang yang berpikir mereka bisa menjanjikan apa saja, ada yang percaya begitu saja pada apapun yang bisa menjamin masa depan yang lebih baik…,” demikian nasehat  Paulo Coelho dalam  novel “The devil and Miss Prym”.

Jangan mudah tertipu oleh janji politisi yang miskin moralitas dengan langsung memilihnya, sebagaimana jangan mudah terpengaruh membeli obat segala macam penyakit dari tukang penjual obat di kaki lima, gegara terpesona dengan atraksi sulapnya. Karena antara politisi dan tukang sulap, banyak memiliki kesamaan.

Ben Okri Penulis terkenal asal Afrika, pernah mengingatkan adanya persamaan antara politisi dan tukang sulap. “Politisi dan tukang sulap penjual obat memiliki banyak kesamaan. Keduanya menarik perhatian kita untuk melupakan apa  yang sesungguhnya mereka lakukan (di balik penglihatan kita), hingga kita pun terkecoh karena larut dalam hiburannya. Targetnya sama, untuk menyenangkan kita, dengan tujuan yang sama pula, yaitu membeli obatnya dan memilihnya di bilik suara.

Itulah persamaan tukang sulap penjual obat dan politikus yang berjuang untuk terpilih. Jangan mudah terkecoh dari keduanya. Wallahu a’lam bishawwabe.