Merawat Kemabruran Puasa (26): Dari Ta'abbud ke Isti'anah

Oleh: Menteri Agama Prof. Dr. KH Nasaruddin Umar, MA

​SETIAP hari kita mebaca: Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in (Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya Engkau yang kami memohon pertolongan). Ayat kelima dari surah Al-Fatihah ini menyimpan rahasia besar, tetapi masih banyak di antara kita yang belum menghayati maknanya.

Jika makna ta’abbud dan isti’anah bisa dihayati maka akan sangat membantu kita untuk mengenal siapa sesungguhnya diri kita dan siapa Allah SWT, dan inilah sesungguhnya inti ma’rifah. Siapa yang mengenal dirinya maka akan mengenal Tuhannya, dan siapa yang mengenal Tuhannya maka dengan sendirinya akan mengenal dirinya yang sesungguhnya.

Ta'abbud merupakan bentuk pendakian seorang hamba menuju Tuhannya dalam bentuk pengabdian atau penghambaan diri. Dalam hadis Nabi shalat adalah bentuk pendakian atau mikraj orang-orang mukmin (al-shalatu mi'raj al-mu'minin). Setelah hamba merasa tiba di puncak pendakian maka saat itulah Allah SWT memberikan apresiasi usaha  keras atau mujahadah anak manusia ke dalam bentuk pertolongan Tuhan. Bentuk isti'anah bermacam-macam. Yang pasti itu merupakan keutamaan yang diberikan Allah Swt.

Ta'abbud biasa disinonimkan dengan pendakian (taraqqi) dan isti'anah dihubungkan dengan tanazul, yaitu anugrah Allah SWT yang diturunkan kepada hamba. Ibnu 'Arabi lebih suka menggunakan istilah taraqqi untuk upaya pendakian menuju Tuhan dan istilah tanazul untuk isti'anah.

Taraqqi bagi Ibnu 'Arabi melejitnya seorang hamba menuju Tuahn-Nya. Setelah sampai kedalam batas tertentu maka muncullah peristiwa tanazul, yaitu turunnya karunia Tuhan sebagai akibat pengabdian tulus seorang hamba kepada Tuhannya.

Isti'anah ialah anugrah yang diturunkan Tuhan sebagai balasan dari berbagai bentuk pengabdian kepada-Nya. Penempatan isti'anah setelah ta'abbud mengisyaratkan bahwa tidak ada isti'anah tanpa diawali ta'abbud. Artinya, seseorang yang mengharapkan pertolongan Tuhan harus diawali terlebih dahulu dengan ta'abbud. Hanya hamba yang menemukan jalan dan konsisten menjalani jalan itu yang bisa mendapatkan isti'anah.

Dalam melaksanakan ta'abbud, manusia harus memperhatikan beberapa hal. Salahsatu di antaranya ialah keikhlasan. Sebab ta'abbud tidak bisa mencapai puncak jika dipadati dengan riya, dosa,  dan egoisme. Isti'anah adalah akibat yang diperoleh melalui usaha ta'abbud yang sejati. Kesejatian ta'abbud dapat diukur melalui tingkat keiklasan dan kekhusyukan ta'abbud itu sendiri.

Ta'abbud terkait dengan interaksi positif antara 'abid, Ma'bud, dan 'ibadah. 'Abid ialah orang yang bersungguh-sungguh bermaksud mendekatkan diri kepada Allah Swt, Ma'bud  tidak lain ialah Allah Swt., dan 'ibadah ialah tata cara yang mengatur hubungan interaktif antara manusia sebagai 'abid dan Tuhan sebagai al-Ma'bud. Ketentuan yang menjadi rambu-rambu  antara 'abid dan ma'bud itulah 'ibadah.

Dengan demikian, ta'abbud-isti'anah seperti kata majemuk yang tak bisa dipisahkan satu sama lain. Pada saat yang bersamaan, antara 'abid, Ma'bud, dan 'ibadah juga tidak bisa dipisahkan. Tidak ada 'abid tanpa Ma'bud dan tidak ada arti 'abid tanpa 'ibadah. Demikian pula dengan ta'abbud dan isti'anah, selalu berhubungan dengan ‘abid dan Ma'bud. Wallahu A'lam.

Artikel ini telah ditayangkan Tribun Timur, Edisi 26 Maret 2025