Merawat Kemabruran Puasa (26): Dari Ta'abbud ke Isti'anah
7.jpeg)
Oleh: Menteri Agama Prof. Dr. KH Nasaruddin Umar, MA
SETIAP hari kita mebaca: Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in
(Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya Engkau yang kami memohon
pertolongan). Ayat kelima dari surah Al-Fatihah ini menyimpan rahasia besar,
tetapi masih banyak di antara kita yang belum menghayati maknanya.
Jika makna ta’abbud dan isti’anah bisa dihayati maka akan
sangat membantu kita untuk mengenal siapa sesungguhnya diri kita dan siapa
Allah SWT, dan inilah sesungguhnya inti ma’rifah. Siapa yang mengenal dirinya
maka akan mengenal Tuhannya, dan siapa yang mengenal Tuhannya maka dengan
sendirinya akan mengenal dirinya yang sesungguhnya.
Ta'abbud merupakan bentuk pendakian seorang hamba menuju
Tuhannya dalam bentuk pengabdian atau penghambaan diri. Dalam hadis Nabi shalat
adalah bentuk pendakian atau mikraj orang-orang mukmin (al-shalatu mi'raj
al-mu'minin). Setelah hamba merasa tiba di puncak pendakian maka saat itulah
Allah SWT memberikan apresiasi usaha
keras atau mujahadah anak manusia ke dalam bentuk pertolongan Tuhan.
Bentuk isti'anah bermacam-macam. Yang pasti itu merupakan keutamaan yang
diberikan Allah Swt.
Ta'abbud biasa disinonimkan dengan pendakian (taraqqi) dan
isti'anah dihubungkan dengan tanazul, yaitu anugrah Allah SWT yang diturunkan
kepada hamba. Ibnu 'Arabi lebih suka menggunakan istilah taraqqi untuk upaya
pendakian menuju Tuhan dan istilah tanazul untuk isti'anah.
Taraqqi bagi Ibnu 'Arabi melejitnya seorang hamba menuju
Tuahn-Nya. Setelah sampai kedalam batas tertentu maka muncullah peristiwa
tanazul, yaitu turunnya karunia Tuhan sebagai akibat pengabdian tulus seorang
hamba kepada Tuhannya.
Isti'anah ialah anugrah yang diturunkan Tuhan sebagai
balasan dari berbagai bentuk pengabdian kepada-Nya. Penempatan isti'anah
setelah ta'abbud mengisyaratkan bahwa tidak ada isti'anah tanpa diawali
ta'abbud. Artinya, seseorang yang mengharapkan pertolongan Tuhan harus diawali
terlebih dahulu dengan ta'abbud. Hanya hamba yang menemukan jalan dan konsisten
menjalani jalan itu yang bisa mendapatkan isti'anah.
Dalam melaksanakan ta'abbud, manusia harus memperhatikan
beberapa hal. Salahsatu di antaranya ialah keikhlasan. Sebab ta'abbud tidak
bisa mencapai puncak jika dipadati dengan riya, dosa, dan egoisme. Isti'anah adalah akibat yang
diperoleh melalui usaha ta'abbud yang sejati. Kesejatian ta'abbud dapat diukur
melalui tingkat keiklasan dan kekhusyukan ta'abbud itu sendiri.
Ta'abbud terkait dengan interaksi positif antara 'abid,
Ma'bud, dan 'ibadah. 'Abid ialah orang yang bersungguh-sungguh bermaksud
mendekatkan diri kepada Allah Swt, Ma'bud
tidak lain ialah Allah Swt., dan 'ibadah ialah tata cara yang mengatur
hubungan interaktif antara manusia sebagai 'abid dan Tuhan sebagai al-Ma'bud.
Ketentuan yang menjadi rambu-rambu
antara 'abid dan ma'bud itulah 'ibadah.
Dengan demikian, ta'abbud-isti'anah seperti kata majemuk
yang tak bisa dipisahkan satu sama lain. Pada saat yang bersamaan, antara
'abid, Ma'bud, dan 'ibadah juga tidak bisa dipisahkan. Tidak ada 'abid tanpa
Ma'bud dan tidak ada arti 'abid tanpa 'ibadah. Demikian pula dengan ta'abbud
dan isti'anah, selalu berhubungan dengan ‘abid dan Ma'bud. Wallahu A'lam.
Artikel ini telah ditayangkan Tribun Timur, Edisi 26 Maret
2025