Pengertian Sistem Tanam Paksa atau Cultuurstelsel

Sistem Tanam Paksa atau Cultuurstelsel (Foto: National Museum van Wereldculturen TM 10024157)

CELEBESMEDIA.ID: Makassar - Cultuurstelsel atau yang dinamakan tanam paksa adalah kebijakan Bangsa Belanda yang mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya sebesar 20 persen untuk ditanami komoditas ekspor, khususnya kopi, tebu, teh, dan tarum (nila). 

Cultuurstelsel merupakan usulan Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada saat itu yakni Johannes van den Bosch. Tujuan utamanya adalah untuk menyelamatkan Belanda dari krisis ekonomi karena kas pemerintah Belanda kosong.


Aturan Tanam Paksa dan Penyimpangan oleh Bangsa belanda

Dalam buku Sejarah Nasional Indonesia IV (2008) karya Marwati Djoened dan Nugroho, ada sejumlah ketentuan pokok sistem tanam paksa tertera dalam Stadsblad (lembaran negara) tahun 1834 No 22. Ketentuan dalam tanam paksa meliputi: 

Tuntutan agar menyediakan tanah pertanian untuk cultuurstelsel kepada setiap rakyat Pribumi tidak melebihi 20% atau seperlima bagian dari tanahnya.

- Rakyat yang tidak memiliki tanah pertanian dapat menggantinya dengan bekerja di perkebunan milik pemerintah Belanda atau di pabrik milik pemerintah Belanda selama 66 hari atau seperlima tahun.

- Bagian tanah yang disediakan untuk menanam tanaman dagangan dibebaskan dari pembayaran pajak tanah.

- Hasil dari tanah yang disediakan wajib diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda. Jika nilai hasil dagangan melebihi pajak tanah yang harus dibayar rakyat, kelebihannya dikembalikan kepada rakyat. 

- Kerusakan atau kerugian sebagai akibat gagal panen yang bukan karena kesalahan petani seperti bencana alam dan terserang hama, akan ditanggung pemerintah Belanda.

- Pelaksanaan Cultuurstelsel diserahkan kepada pemimpin pribumi. Sementara pemerintah Belanda hanya jadi pengawas. 

Namun, dalam pelaksanaan di lapangan aturan yang ditetapkan kolonial memiliki banyak penyimpangan yang jauh dari aturan asli dan sangat menyengsarakan rakyat diantaranya:

- Pelaksanaan cultuurstelsel seharusnya sukarela, tetapi dilaksanakan secara paksa melalui Bupati dan kepala desa.

- Luas tanah yang disediakan penduduk lebih dari seperlima bahkan sampai harus menyerahkan sepertiga hingga seluruh tanah desa. Alasan agar lebih mudah pengerjaan, pengairan, dan pengawasan oleh pemerintah kolonial Belanda.

- Pengerjaan tanaman ekspor lebih diprioritaskan dari pada padi sehingga tanah pertanian rakyat justru tidak terurus. 

- Pajak tanah masih dikenakan pada tanah yang digunakan untuk proyek tanam paksa.

- Kelebihan hasil panen setelah diperhitungkan dengan pajak tidak dikembalikan pada petani.

- Kegagalan panen menjadi tanggung jawab petani. 

- Buruh dipekerjakan secara paksa seperti yang terjadi di Rembang, Jawa Tengah. Sejumlah 34.000 keluarga selama 8 bulan diharuskan mengerjakan tanaman dagang dengan upah sangat kecil setiap tahunnya. 

Untuk memuluskan Cultuurstelsel atau tanam paksa, pejabat kolonial menyuap Bupati dan Kepala Desa agar mau mengerahkan penduduk. 

Menurut catatan dari seorang inspektur Tanam Paksa, yaitu L. Vitalis, ia menyebutkan bahwa pada 1835, di Priangan, mayat para petani bersebaran karena keletihan dan kelaparan.

Berawal dari itu, kemudian masalah tersebut naik ke permukaan dan menjadi konflik bahwa pemerintah Belanda telah melakukan eksploitasi berlebih terhadap bumiputra Jawa.

Cultuurstelsel kemudian dihentikan setelah mendapat berbagai kritik dengan dikeluarkannya UU Agraria 1870 dan UU Gula 1870.