Shamsi Ali - (ist)

Oleh : Shamsi Ali

Makassar - Di musim politik dan Pilkada seperti ini tentunya masyarakat atau Umat lagi-lagi diperhadapkan kepada kenyataan-kenyataan yang terkadang membingunkan. Tentu salah satunya adalah bingung dalam menentukan pilihan pada Pilkada itu. 

Dalam menentukan pilihan terkadang memang tidak sederhana. Akan banyak pertimbangan-pertimbangan yang terlibat. Dari pertimbangan kedekatan (keluarga/teman), kemampuan, Ilmu, karakter, agama, hingga kepada faktor uang. 

Saya menilai pertimbangan-pertimbangan itu sah-sah saja. Tapi pastinya ada pertimbangan yang seharusnya menjadi “flatform” atau dasar pilihan yang bersifat universal. Artinya harus ada pertimbangan dasar yang menjadi alasan utama dalam menentukan pilihan. 

Salah satu pertimbangan utama dalam menentukan pilihan adalah agama dan karakter kandidat. Agama menjadi penting karena dengannya diharapkan seorang pejabat akan lebih amanah. Dengan agama pastinya seorang pejabat akan memiliki rasa tanggung (sense of responsibility), tidak saja secara duniawi (kepada rakyat ya). Tapi lebih dari itu tanggung jawab ukhrawi kepada Rabbnya di akhirat kelak. 

Agama seseorang itu dalam konotasi sosial, termasuk kepemimpinannya, akan terbentuk dalam wujud “karakter kemanusiaan”. Agamanya akan terbaca dalam prilaku dan integritasnya. 

Pemimpin yang beragama secara benar, tidak akan menjadikan simbol-simbol keagamaan sebagai mainan politik. Di saat musim kampanye serta merta menjadi “so religious” (nampak seperti beragama). Dari ragam kegiatan keagamaan, hingga kepada penampilan lahirnya menjadi nampak sangat beragama.

Pemimpin yang beragama justeru akan menampakkan nilai-nilai agama itu dalam menjalankan kampanye politiknya. Bahwa dia tidak akan membangun kekuatan politiknya di atas dasar keuangan yang maha kuasa. Sehingga dia tidak akan membeli suara. Jika memang punya uang maka uang itu akan dipergunakan dalam bentuk “programming” yang bersifat sosial dan manfaat umum. Bukan membeli suara melalui apa yang dikenal di negeri ini dengan “serangan fajar”. 

Pemimpin yang beragama juga akan mengedepankan pertarungan visi/misi dan program ketimbang faktor lain dalam laga politiknya. Bahwa sebuah perhelatan politik memang memerlukan duit. Tapi pemimpin yang berintegritas (berakhlak) akan selalu meraih hati masyarakat melalui visi/misi dan programnya. 

Tentu pemimpin beragama juga adalah pemimpin yang memiliki prilaku yang mulia. Pemimpin yang tetap tawadhu’ dan menjalin komunikasi/silaturrahim dengan siapa saja tanpa memandang status sosialnya. Bukan ramah di saat kampanye. Tapi berubah total di saat telah menjabat. 

Pemimpin beragama juga menjaga nilai-nilai moralitas dalam hidupnya. Maka dia akan menjauhi segala yang dilarang agama. Apapun itu, dari berbohong, minum khamar, berjudi dan melakukan penyelewengan dalam hal kehidupan intimnya.

Jika seorang calon itu dikenal memang sering ke Macau atau Singapura untuk berjudi jangan harap akan mampu menjadi Pemimpin yang berketauladanan bagi masyarakatnya. Sementara ketauladanan akan menentukan wajah masyarakat di masa depan.

Di sinilah kemudian masyarakat (pemilih) harus jeli membaca atau mencari tahu siapa Pemimpin yang akan dipilihnya. Kesalahan dalam menentukan pilihan akan berdampak tidak saja lima tahun dalam kepemimpinannya. Tapi boleh jadi berimbas ke dalam kehidupan yang lebih jauh lagi ke depan. 

Silahkan memilih teman, kerabat, bahkan Saudara. Tapi hendaknya pertemanan, kekeluargaan dan persaudaraan tidak menjadi pertimbangan yang menentukan. Karena tidak menutup kemungkinan Saudara yang dipilih namun tidak berintegritas itu justeru mencampakkan kepentingan masyarakat umum, bahkan teman dan keluarga yang memilihnya. 

Saya justeru khawatir, jangan-jangan menjatuhkan pilihan berdasarkan pertemanan dan kekeluargaan itu justeru menjadi bagian dari bentuk “nepotisme” tanpa disadari. Sebuah prilaku menyeleweng yang hina dalam kehidupan publik. 

Lebih runyam lagi di saat pilihan itu ternyata didasarkan kepada kepentingan-kepentingan sempit dan sesaat. Mendukung kandidat tertentu karena sebuah harapan untuk mendapat proyek tertentu pula. Atau dalam bahasa pinggir jalan: “ada kerupuk di balik rantang”. 

Gombara, 27 Oktober 2020

Shamsi Ali, Imam di kota New York/Presiden Nusantara Foundation

Tags : Opini Shamsi Ali