Merawat Kemabruran Puasa (19): Dari Syukur ke Syakur
6.jpg)
Oleh: Menteri Agama Prof. Dr. KH Nasaruddin Umar, MA
ADA tiga tingkatan syukur yang sering difahami secara rancu.
Pertama tahmid, yaitu mengucapkan lafaz alhamdulillah, saat kita memperoleh
keberuntungan. Kedua, syukur, yaitu menyandarkan segala nikmat itu kepada Sang
Pemberi Nikmat, yaitu Allah SWT dengan sikap rendah diri.
Seseorang baru disebut bersyukur manakala memberikan hak-hak
orang lain dari harta yang Allah berikan kepada kita. Misalnya gaji dan
pendapatan lain yang kita peroleh sebulan dikeluarkan minimum 2,5 persen kepada
para mustahiq sebagai bagian dari zakat dan shadaqah kita. Inilah yang
disebutkan di dalam Alquran: “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan:
"Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat)
kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat
pedih". (Q.S. Ibrahim/14:7).
Ketiga, syakur, yaitu orang-orang yang tidak hanya mensyukuri
kenikmatan, kebahagiaan, dan keberuntungan, tetapi juga mensyukuri segala
bentuk musibah, penderitaan, malapetaka, dan kekecewaan yang melanda dirinya.
Segala bentuk penderitaan dan kemalangan dianggapnya sebagai “surat cinta”
Tuhan.
Sekian lama ia dipanggil Tuhan dengan kenikmatan dan
kebahagiaan tetapi tidak menyadarinya, bahkan terkadang mabuk dengan kemewahan
dan kenikmatan hidup. Nama Tuhan yang disebut ketika dalam keadaan bahagia dan
senang tidak seakrab dan sedalam ketika di dalam suasana kepedihan dan
penderitaan.
Tahmid dan syukur banyak dilakukan orang, lebih banyak lagi
yang tidak bertahmid dan tidak bersyukur. Syakur amat terbatas orang yang bisa
sampai ke sana. Allah SWT juga menyatakan: “Dan sedikit sekali dari hamba-hamba
Ku yang berterima kasih. (Q.S. Saba’/34:13).
Syakur sebagai tingkat kesyukiran paling tinggi, dambaan
semua orang. Betapa tidak, orang yang sudah sampai di tingkatan ini dadanya
akan lapang, selapang dengan samudra, sehingga betapapun banyak kotoran
mengalir dari sungai tidak akan pernah bisa merubah warna air samudra.
Sebaliknya jika dada orang sempit maka ia akan merasa
sumpek, sehingga sekecil apapun keritikan dialamatkan pada dirinya langsung
terasa sesak dan stress. Seperti dijelaskan dalam Al-Qur’an: “Barang siapa yang
Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan
dadanya untuk Islam. Dan barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya,
niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang
mendaki ke langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang
tidak beriman.” (Q.S. al-An’am/6:125).
Al-Junaid mengatakan, syukur ialah engkau tidak memandang
dirimu sebagai pemilik nikmat. Sedang asy-Syiblî mengatakan, syukur ialah
melihat kepada pemberi nikmat dan bukan kepada nikmatnya.
Pernyataan ini diperkuat dengan ucapan nabi Ayyub AS yang
bersikap sabar terhadap musibah yang menimpanya, sehingga ia disebut sebagai
hamba yang sebaik-baiknya. Demikian juga nabi Sulaiman AS. yang bersyukur atas
nikmat yang diberikan Allah kepadanya sehingga ia disebut juga sebagai hamba yang
sebaik-baiknya.
Hal ini disebabkan karena keduanya konsentrasi pada pemberi
nikmat dan bukan pada musibah dan nikmat itu, sehingga dengan demikian keduanya
tidak merasakan sama sekali rasa sakit dan nyaman. Atas dasar pengertian inilah
Allah SWT mempunyai sifat asy-syakûr, syukur yang sangat luas. Allah memberikan
balasan kepada para hamba-Nya atas kesyukurannya.
Ada yang mengatakan bahwa kesyukuran Allah ialah memberikan
pahala yang banyak atas amal yang sedikit. Kata mereka hewan bersyukur, artinya
hewan itu tampak badannya gemuk. Ada juga yang mengatakan, hakekat syukur ialah
memuji kepada yang berbuat baik dengan menyebut kebaikannya.
Artikel ini telah ditayangkan Tribun Timur,
Edisi 19 Maret 2025