Merawat Kemabruran Puasa (23): Dari Self-Love ke Selfishness

Menteri Agama Prof. Dr. KH Nasaruddin Umar, MA - (foto by Kemenag)

Oleh: Menteri Agama Prof. Dr. KH Nasaruddin Umar, MA

 KATA cinta di dalam bahasa Arab bertingkat-tingkat hingga 14 macam jenis cinta. Dalam Bahasa Inggris lumayan lebih banyak kosa katanya dari pada Bahasa Indonesia tentang cinta.

Self-love ketika seseorang mencintai orang lain dan karena itu dia mencintai dirinya senddiri. Self-love biasa juga disebut dengan saint-love atau unconditional love karena cintanya betul-betul tanpa pamri. 

Bagaimana seorang ibu mencintai dan menyayangi bayinya maka dia juga harus menyayangi dirinya, menjaga kesehatan dan kebugaran tubuhnya agar anaknya bisa memperoleh air susu segar dari dirinya. 

Seseorang dapat menjadi pencinta sejati jika dia dapat memberi  cinta yang tulus kepada orang lain seperti mencintai dirinya sendiri, atau mencintai orang lain karena dia mencintai dirinya. Bahkan self-love melintasi batas kemanusiaan karena ternyata limpahan cintanya juga merembes ke seluruh makhluk lain. 

Erich Fromm ketika membahas kualitas self-love mengungkap sebuah pernyataan: “Cinta kepada diri saya tidak dapat dipisahkan dari cinta kepada semua makhluk hidup”.

Sedangkan selfishness ketika seseorang hanya tertarik kepada dirinya sendiri, tidak peduli kepada orang lain, dan mengingkari segala sesuatu untuk dirinya sendiri. Dia tidak merasa senang kalau memberi dan hanya senang dalam mengambil. 

Sekalipun secara materil sudah hidup berkecukupan atau sudah di atas standard rata-rata kehidupan di sekitarnya tetapi masih merasa belum cukup, karena itu dia selalu berharap dan meminta kepada orang lain. Orang ini sesungguhnya bukan hanya tidak dapat mencintai orang lain melainkan juga tidak bisa mencintai dirinya sendiri. 

Dia sebenarnya membenci dirinya sendiri yang terus menerus meminta tanpa pernah dipuaskan, tetapi sulit menjelaskan mengapa itu terjadi pada dirinya sendiri. Karena itu, Erich Fromm menyebut orang ini menderita semacam gangguan psikologis dalam bentuk ketidak sanggupan untuk mencintai.

Self-love bisa merasakan kepuasan sejati di dalam dirinya, terutama kalau dia mampu berbagi dengan orang lain. Dia bisa merasakan kebahagiaan terlebih dahulu sebelum memberikan kebahagiaan kepada orang lain. 

Dengan demikian, sedikit atau banyak tidak menjadi penentu kebahagiaan dan kepuasan tetapi ukurannya kekayaan dan kepuasaan jiwa. Sama dengan bahasa agama Islam: Al-Gina gina al-nafs (kekayaan sejati ialah kekayaan jiwa). 

Berbeda dengan selfishness yang sesungguhnya sudah menjurus kepada keserakahan dan kelainan jiwa. Keserakahan yang diperparah dengan penyakit kelainan jiwa inilah yang melahirkan kapitalisme.

Orang-orang yang serakah dalam sistem kapitalisme semakin parah karena kehidupan konsumerisme sudah dipicu dan dirangsang oleh iklan bermacam-macam. Karena itu masyarakat kapitalis tidak pernah selesai berkonsumsi. Konsumerisme sudah merupakan gaya hidup, atau kebudayaan bagi kaum selfishness. 

Jika kita melakukan pembiaran terhadap gaya hidup selfishness ini maka cepat atau lambat martabat kemanusiaan akan jatuh ke titik nadir.

Artikel ini telah ditayangkan Tribun Timur, Edisi 23 Maret 2025.