Merawat Kemabruran Puasa (17): Dari Mukhlish ke Mukhlash

Menteri Agama Prof. Dr. KH Nasaruddin Umar, MA - (foto by Kemenag)

Oleh: Menteri Agama Prof. Dr. KH Nasaruddin Umar, MA

KATA  mukhlish dan mukhlash berasal dari akar kata akhlasha-yukhlishu, berarti tulus, jujur, jernih, bersih, dan murni. Dari akar kata tersebut lahir kata mukhlish, jamaknya al-mukhlishin berarti orang yang setulus-tulusnya mengikhlaskan diri di dalam upaya mendekatkan diri sedekat-dekatnya kepada Allah SWT. Perkataan, pikiran, dan segenap tindakannya hanya tertuju kepada Allah SWT.

Pengertian ikhlas lebih popular berarti kesungguhan dan dan ketulusan di dalam upaya mendekatkan diri sedekat-dekatnya kepada Allah SWT. Perkataan, pikiran, dan segenap tindakannya hanya tertuju kepada Allah SWT. 

Kalangan ulama tasawuf menjelaskan pengertian ikhlas sebagai upaya untuk menyucikan ketaatan dari perhatian sesama makhluk dan menjadikan Allah sebagai tujuan dalam berbagai ketaatan yang dilakukannya. 

Kebalikan dari ikhlas ialah riya, yaitu suatu perbuatan yang dilakukan selain untuk Allah SWT juga untuk mendapatkan pujian dari makhluk. Riya mulai terjadi manakala seseorang mulai menikmati pujian dari kebaikan yang dilakukannya.

Dari kata akhlasha lahir juga kata mukhlash, jamaknya mukhlashin berarti orang yang mencapai puncak keikhlasan sehingga bukan dirinya lagi yang yang berusaha menjadi orang ikhlas (mukhlishin) tetapi Allah SWT yang proaktif untuk memberikan keikhlasan. 

Mukhlis masih sadar kalau dirinya berada pada posisi ikhlas, sedankan mukhlash sudah tidak sadar kalau dirinya sedang berada dalam posisi ikhlas. Keikhlasan sudah merupakan bagian dari habit dan kehidupan sehari-harinya. Jika kadar keikhlasan masih dalam batas mukhlis maka masih riskan untuk diganggu berbagai provokasi iblis karena masih menyadari dirinya berbuat ikhlas. 

Sedangkan mukhlash Iblis sudah menyerah dan tidak bisa lagi berhasil mengganggunya karena langsung di-back-up oleh Allah Swt. Berbagai firman Allah SWT menyebutkan bahwa orang-orang yang sudah sampai di maqam al-mukhlashin upaya iblis sudah tidak mempan lagi. 

Ayat-ayat tersebut antara lain: “Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tiada melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, agar Kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih (al-mukhlashin).” (Q.S. Yusuf/12:24).

Ayat di atas terkait dengan hubungan antara Yusuf yang dijebak  oleh isteri raja di dalam kamar kosong karena terpesona ketanpanannya. Dalam keadaan sepi, aman, disertai dengan adanya kemauan, maka hampir saja perbuatan tercela (zina) itu terjadi, namun Allah SWT yang proaktif melindungi Nabi Yusuf. Cobaan yang berat bagi Nabi Yusuf mampu dilewatinya, bukan karena kemampuannya untuk menahan diri tetapi lebih karena pertolongan Allah SWT.

Dalam ayat lain, Allah SWTmenyatakan: “Iblis berkata: "Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlas di antara mereka". (Q.S. al-Hijr/15:39-40). 

Sejalan dengan ayat lainnya: “Iblis menjawab: "Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya. Kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlas di antara mereka.” (Q.S. Shad/38:82-83). 

Ada beberapa ayat lagi yang seirama dengan ayat ini. Kesemuanya nenandakan bahwa di atas langit masih ada langit. Kita tidak boleh berpuas diri dengan perestasi yang sudah kita miliki.

Artikel ini telah ditayangkan Tribun Timur, Edisi 17 Maret 2025.