Merawat Kemabruran Puasa (28): Dari Sufi Palsu ke Sufi Sejati

Oleh: Menteri Agama Prof. Dr. KH Nasaruddin Umar, MA
KAJIAN tasawuf kini sedang trand. Tiba-tiba muncul banyak orang mengaku sufi dengan konotasi bermacam-macam. Di antara mereka mungkin ada yang memang betul-betul sufi sejati (shufi) dan ada juga yang mengaku-ngaku sufi atau sufi palsu (mutashawwif).
Sufi sejati telah melalui perjuangan dan perjalanan spiritual panjang secara sistematis (mujahadah). Sedangkan sufi palsu tidak pernah melalui perjalanan panjang dan berjuang keras untuk melewati tahapan (maqam).
Antara sufi sejati dan sufi palsu sulit dibedakan oleh orang awam. Kadang-kadang sufi sejati dianggap sufi palsu atau bukan sufi, karena penampilan fisik dan lahiriah tidak sesuai espektasinya. Misalnya seseorang membayangkan sosok sufi menggunakan pakaian kebesaran khusus, didampingi para pengawal (mursyid), memiliki tarekat dan pengikut yang mamadaibesar, dan muru’ah-nya tinggi. Sufi palsu terampil membaca ekspektasi jamaah. Apa yang diharapkan jamaah dipenuhi dan yang tidak diinginkan jamaah disembunyikan sedemikian rupa.
Tanda-tanda sedehana sufi sejati biasanya tidak pernah mau memperkenalkan diri sebagai sufi, tidak mau mendeklarasikan ajarannya, tidak mau terpengaruh dengan materi, bahkan cenderung menghindari popularitas dan orang banyak.
Dia lebih banyak beramal dan bermujahadah ketimbang banyak berbicara dan berceramah di mana-mana. Dia tidak terlalu suka diundang kemana-mana tetapi lebih senang tinggal menetap di tempat atau padepokannya bersama santri atau muridnya.
Dia berhati-hati bicara dan memberikan pengajaran kepada orang yang baru dikenalnya, tetapi murid-murid lama dan yang dikenalnya proaktif untuk membimbing, mendoakan, dan mengajarnya.
Sedangkan tanda-tanda sederhana sufi palsu ialah suka mengangkat diri sebagai pemimpin atau tokoh spiritual, suka mengumbar janji keberhasilan kepada jamaah dengan doa dan wirid, sering mencela ustas atau tokoh spiritual lainnya, muru’ah-nya kurang, mencintai pujian dan popularitas, tidak bisa menyembunyikan kecintaannya terhadap materi dan dunia, bahkan hidupnya tergantung pada jamaahnya, gampang tersinggung dan marah.
Dia juga cenderung membeda-bedakan kelas sosial-ekonomi jamaahnya, lebih respek dan lebih mudah memberikan pelayanan terhadap kelas masyarakat atas dan cenderung menyepelekan jamaah yang tidak berkelas. Dia memiliki mobilitas tinggi dalam melayani permintaan orang atau jamaah khususnya, sementara murid-murid di padepokannya cenderung ditelantarkan.
Sufi sejati membimbing dan mengajar dengan hati dan rohani, sehingga dirasakan betul di dalam hati para murid dan jamaahnya. Segala sesuatu darinya bersumber dari hati nurani sehingga meyakinkan para muridnya.
Persis seperti qaul yang mengatakan: “Segala yang keluar dari hati akan mendarat di hati” (kullu ma kharaja minal qalb waqa’a fil qalb).
Sedangkan sufi palsu, pintar membolak balik kata-kata, berpenampilan menarik dan memukau, tetapi sayang seperti kata qaul: Ucapannya “masuk di telinga kanan keluar dari telinga kiri”, tanpa ada yang tersimpan.
Artikel ini telah ditayangkan Tribun Timur, Edisi 28 Maret 2025