OPINI: Akankah Defisit APBN Kembali ke 3 Persen di 2023

Yuspina Tandilintin - (ist)

Oleh: Yuspina Tandilintin

REALISASI defisit APBN pada Januari lebih tinggi dari periode yang sama tahun lalu mencapai Rp37,7 triliun. 

Untuk menghindari defisit, Pemerintah hanya dapat meningkatkan pendapatan dengan menaikkan pajak atau meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Kenaikan pajak memang rumit dan memberatkan. Jika terlalu berlebihan, akan memperlambat pertumbuhan. Secara politis, ini sangat berisiko. Meningkatkan pertumbuhan hanya bisa dilakukan secara moderat. Jika pertumbuhan lebih cepat dari kisaran ideal 2-3 persen, itu akan menciptakan ledakan, yang mengarah pada kegagalan.

Memotong pengeluaran juga bisa dibilang hal yang tidak mudah. Belanja pemerintah adalah salah satu komponen dari PDB. Jika pemerintah memotong pengeluaran terlalu banyak, pertumbuhan ekonomi akan melambat.

Hal itu menyebabkan pendapatan yang lebih rendah dan berpotensi defisit yang lebih besar. Solusi terbaik adalah memangkas pengeluaran di bidang-bidang yang tidak menciptakan banyak lapangan pekerjaan.

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) meyakini defisit APBN sebesar tiga persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) akan bisa dicapai pada 2023. Hal ini sebagaimana amanat Undang-Udang Nomor 2 Tahun 2020 yag membolehkan pelebaran defisit selama tiga tahun saja.

Menteri Keungan, Sri Mulyani Indrawati memastikan, defisit akan diturunkan perlahan. Untuk tahun ini, pemerintah menargetkan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar 5,7 persen dari PDB lebih rendah dari realisasi defisit APBN pada tahun lalu sebesar 6,09 persen.

"Di 2022 defisit anggaran akan lebih rendah dari tahun ini, sehingga ini menunjukan adanya konsolidasi untuk membuat perubahan yang mulus untuk kembali ke disiplin defisit tiga persen di 2023,"

Bendahara Negara ini mengatakan, perekonomian tahun ini sudah mulai berjalan sehingga tidak lagi tergantung pada belanja pemerintah sebagaimana tahun lalu. Dengan begitu, beban APBN untuk mendorong ekonomi akan semakin berkurang sehingga defisitnya bisa ditekan.

"Di 2020 kita satu-satunya mesin yang melakukan pekerjaan karena APBN bekerja sangat keras. Saat ini mesin (perekonomian) sudah mulai bergerak tapi pemerintah tidak langsung menghentikan mesinnya tapi dilakukan perlahan di 2021 dan 2022," 

Menurut Sri Mulyani, Rancangan APBN akan diserahkan kepada DPR pada Oktober mendatang. Dengan sisa waktu yang masih dimiliki, pemerintah akan benar-benar memperhatikan perkembangan berbagai hal yang bisa mempengaruhi penyusunan APBN.

"Dalam jangka menengah kita akan melihat bagaimana mendorong penerimaan baik dari pajak dan bukan pajak. Sedangkan di sisi belanja kita akan melakukan efisiensi, sehingga pemerintah bisa menggunakan belanja untuk banyak hal lain. Banyak kesempatan yang bisa dilihat dari sisi belanja dan penerimaan," 

Kementerian Keuangan mencatat defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga Februari 2021 mencapai Rp63,6 triliun atau 0,36 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Defisit ini lebih tinggi dibandingkan periode sama tahun sebelumnya tercatat sebesar Rp61,8 triliun.

Defisit Februari 2021 terjadi akibat penerimaan negara tak sebanding dengan belanja negara pemerintah. Di mana pendapatan negara hanya mencapai Rp219,2 triliun, sedangkan posisi belanja negara meningkat mencapai Rp282,7 triliun.

"Sampai dengan akhir Februari kita mengalami defisit mencapai Rp63,6 triliun," 

Pendapatan negara hingga akhir Februari 2021 sebesar 12,6 persen dari APBN atau Rp219,2 triliun dari target sebesar Rp1.743,6 triliun. Dibandingkan tahun lalu, total pendapatan ini mengalami peningkatan 0,7 persen.

Bendahara Negara ini merincikan, penerimaan negara yang mencapai Rp219,2 triliun tersebut berasal dari pajak sebesar Rp146,1 triliun, Kepabeanan dan Cukai Rp35,6 triliun, PNBP Rp37,3 triliun, sedangkan hibah sebesar Rp0,9 triliun.

Sedangkan untuk belanja negara yang mencapai Rp282,7 triliun berasal dari belanja pemerintah pusat yang terdiri dari kementerian/lembaga (K/L) dan belanja non K/L sebesar Rp179,7 triliun, dan realisasi transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) sebesar Rp103 triliun.

Dengan realisasi tersebut, maka defisit anggaran APBN hingga Februari 2021 tercatat 0,36 persen atau setara Rp63,6 triliun terhadap PDB. Adapun dalam APBN 2021 diizinkan hingga mencapai Rp1.006,4 triliun atau sekitar 5,70 persen.

"Ini kalau dibandingkan tahun lalu terjadi kenaikan 2,8 persen defisit dari GDP 0,36 persen lebih rendah dari tahun lalu sebesar 0,40 persen terhadap GDP,"

Yuspina Tandilintin

Mahasiswa Program Doktor Ilmu Ekonomi Universitas Hasanuddin

Tags : Opini