OPINI: Coto Nusantara dan Islam Nusantara
Oleh: Dr Mas'ud Muhammadiah MPd
CELEBESMEDIA, Makassar - Harian Tribun Timur edisi Jumat, 29 September 2017, mengupas coto, makanan
khas orang Bugis-Makassar. Makanan ini memiliki sejarah panjang dan filosofi
tersendiri sejak adanya Kerajaan Gowa yang berpusat di Sombaopu tahun
1538.
Makanan ini
(dulu) menjadi hidangan khusus bagi kalangan istana Kerajaan Gowa. Dihidangkan
untuk menghormati tamu istimewa atau saat ritual adat.
Pada abad
16, coto sebagai kuliner khas mendapat pengaruh dari kuliner Cina. Hal ini
dapat dilihat dari sambal yang digunakan yakni sambal Tauco sebagai salah satu
identitasnya. Coto kemudian menjadi makanan publik dengan label masing-masing
pembuatnya, pengusahanya, dan geografisnya.
Akhir-akhir
ini pelabelan itu tidak hanya melanda makanan khas Makassar ini (coto), melainkan
juga pada agama Islam. Secara tiba-tiba (sesungguhnya tidak ada peristiwa yang
tiba-tiba terjadi) sebagian umat Islam dikejutkan dengan pelabelan Islam.
Masa
kedatangan Islam diawali dengan lahirnya Nabi Muhammad SAW, nabi akhir zaman. Dan
selanjutnya Beliau menyampaikan Islam kepada seluruh kaum Arab setelah Allah SWTS
mengangkatnya menjadi Rasul.
Setelah nabi
Muhammad SAW wafat, maka perannya digantikan oleh pemimpin yang bukan nabi
melainkan khalifah. Mereka adalah sahabat terdekat nabi Muhammad, yaitu Abu
Bakar Ash Shidiq, Umar bin Khatab, Ustman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.
Tugas mereka
memastikan umat tetap menjalankan perintah agama Islam yang diajarkan oleh
Rasulullah.
Setelah masa
khalifah berakhir, muncullah masa-masa dinasti di Arab Saudi seperti masa Bani
Umayah dan Abasiyah. Kekuasaan dinasti itu menguat sejalan dengan menguatnya
pengaruh Islam hingga ke Eropa dan Afrika.
Islam
kemudian tersebar ke penjuru dunia lewat usaha-usaha dakwah yang tidak terhenti
dan terputus setelah wafatnya nabi Muhammad.
Agama Islam
yang masuk ke Indonesia tentunya mempengaruhi kebudayaan yang ada di Indonesia.
Kebudayaan lokal yang sudah ada sejak lama mulai bertransformasi dengan
kebudayaan Islam.
Tidak hanya
sampai pada dakwah yang disebarkan para pendatang dan pedagang muslim, kerajaan-kerajaan
Islam pun mulai berdiri dan mencapai masa-masa kejayaannya.
Kerajaan
Islam pertama yang berdiri di Indonesia adalah Kerajaan Samudera Pasai dengan
Sultan Malik As-Saleh sebagai sultan pertamanya.
Agama Islam
yang berkembang di Indonesia juga menyebabkan pengaruh besar baik itu terkait
arsitektur, bahasa, pendidikan, norma, hubungan sosial, budaya dan bidang
lainnya.
Contoh dari
bidang arsitektur terdapat berbagai jenis bangunan seperti mesjid, kerajaan,
benteng, kuburan, air mancur, bak pemandian, menara, surau, dan sebagainya,
terlihat corak-corak keislaman dan Timur Tengah di masing-masing bangunan
tersebut.
Di bidang
bahasa, terlihat beberapa kosa kata Indonesia merupakan adaptasi dari bahasa
arab seperti mesjid, kursi, ustadz, umat, kitab, dan sebagainya. Dalam bidang
pendidikan, kita dapat melihat banyaknya sekolah keislaman seperti pondok
pesantren, madrasah ibtidaiyah, madrasah tsanawiyah, madsarah aliyah, TPA dan
MDA, serta perguruan tinggi Islam.
Apa
hubungannya coto dan Islam. Tulisan ini tidak membahas soal halal dan haramnya
makanan khas coto itu, melainkan hanya membahas dari segi pelabelan nama di belakang
coto dan Islam dari perspektif kebahasaan.
Saat
ini, coto sudah banyak diberikan gelar (penamaan) oleh masyarakat, khususnya
yang berkaitan dengan geografis atau nama tempatnya. Di sekitar Makassar saja,
berbagai pelabelan sudah disandang oleh makanan khas ini, misalnya Coto Gagak, Coto
Nusantara, Coto Maros, bahkan ada Coto Bugis.
Label
diberikan sebagai pertanda daerah tempat coto itu dijual. Bahkan juga asal
daerah sang pemilik (pedagang) coto tersebut.
Demikian pula Islam, saat ini kita direcoki dengan istilah baru Islam Nusantara. Pertanyaannya berbedakah Islam di Arab Saudi misalnya dengan Islam di Indonesia?
(Dr Mas'ud Muhammadiah, Ahli Bahasa dan Komunikasi, Dosen Unibos Makassar)