Perayaan Malam Satu Suro: Mengungkap Tradisi dan Makna di Jawa

Tradisi Kirab Kebo Bule di Malam Satu Suro (Foto: tangkapan layar youtube.com/@Ivan Jaya Solo

CELEBESMEDIA.ID, Makassar - Malam satu Suro, yang merupakan hari pertama dalam kalender Jawa pada bulan Sura atau Suro, telah tiba.

Menurut laman Rumah Belajar Kemdikbud, penanggalan Jawa menggabungkan kalender lunar (Islam), kalender matahari (Masehi), dan kalender Hindu.

Raja Mataram Sultan Agung Hanyokrokusumo menerbitkan kalender Jawa pertama kali 1940 tahun yang lalu, dengan mengacu pada penanggalan Hijriyah (Islam).

Satu Suro biasanya diperingati pada malam hari setelah Maghrib, pada hari sebelum tanggal satu, yang sering disebut sebagai malam satu Suro.

Hal ini dikarenakan dalam kepercayaan Jawa, pergantian hari dimulai saat matahari terbenam pada hari sebelumnya, bukan pada tengah malam.

Tradisi Malam Satu Suro

Beberapa daerah di Jawa masih mempertahankan tradisi perayaan malam satu Suro. Di antaranya adalah Keraton Solo dan Keraton Yogyakarta.

Di Solo, perayaan malam satu Suro melibatkan hewan khas yang disebut kebo (kerbau) bule atau dikenal sebagai Kebo Bule Kyai Slamet dan keturunannya.

Kebo bule merupakan hewan klangenan atau kesayangan Paku Buwono II, sejak istananya masih berada di Kartasura, sekitar 10 kilometer sebelah barat keraton yang sekarang.

Di Yogyakarta, perayaan malam satu Suro sering kali identik dengan membawa keris dan benda pusaka sebagai bagian dari iring-iringan kirab.

Para abdi dalem keraton mempersembahkan beberapa hasil kekayaan alam seperti gunungan tumpeng dan benda pusaka sebagai bagian dari prosesi kirab yang dilakukan dalam tradisi Malam Satu Suro.

Perayaan tradisi Malam Satu Suro menekankan ketentraman batin dan keselamatan.

Oleh karena itu, malam satu Suro sering kali diisi dengan ritual pembacaan doa oleh semua hadirin yang merayakannya.

Tujuannya adalah untuk memohon berkah dan melindungi diri dari marabahaya yang mungkin datang.

Selain itu, masyarakat Jawa pada umumnya berusaha mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dan melakukan perbuatan baik sepanjang bulan satu Suro.

Tradisi saat malam satu Suro bervariasi tergantung pada daerahnya. Misalnya, ada yang melakukan Tapa Bisu, yaitu mengunci mulut dan tidak mengeluarkan kata-kata selama ritual ini.

Hal ini dimaknai sebagai upacara untuk merenung, merenungi perbuatan yang dilakukan sepanjang tahun, sebagai persiapan menghadapi tahun baru yang akan datang di pagi hari berikutnya.***