KOLOM ANDI SURUJI: Cinta dan Benci di Desa Purba Makassar

Warga mengubur 7 janin yang ditemukan di kamar indekos di Daya, Biringkanaya, beberapa waktu lalu - (ist)

ANTARA cinta dan benci seringkali beda tipis. Kadang cinta yang bersemi berakhir benci. Namun sering pula awalnya benci lalu berujung cinta. 

Belakangan ini, di Kota Makassar berita tentang akibat cinta dan benci membanjiri saluran informasi warga.

Warga geger mendapat informasi penemuan tumpukan mayat tujuh janin dalam kardus di sebuah rumah kos. Polisi telah menahan sepasang tersangka pelaku penimbun janin di rumah kos. 

Kata polisi, aborsi sepasang sejoli itu, dilakukan sejak tahun 2012. Mereka melakukan aborsi karena malu hamil di luar nikah. Ya akibat cinta terlarang. 

Sang wanita dijanjikan akan dinikahi, dan akan mengubur janin itu di kampung wanita setelah mereka melangsungkan pernikahan. 

Janji tinggal janji. Perbuatan tidak sah sebagai suami-istri terus dilakukan dan berakibat fatal yang berulang pula. Hingga akhirnya perbuatan mereka terbongkar. 

Kamis sore datang lagi kabar penemuan mayat bayi di Kompleks Kodam. Ditemukan dalam kantong plastik di belakang rumah seorang warga. 

Bayi itu tentu juga hasil sebuah hubungan cinta. Namun belum jelas, apakah cinta terlarang atau bukan. Tetapi jika dibuang, atau ditinggal begitu saja, tentu bukan dari sebuah cinta yang sejati. 

Boleh jadi itu buah asmara yang tidak diinginkan hadir, Bukankah sepasang suami istri yang bertaut dalam sebuah hubungan cinta, senantiasa merindukan hadirnya tangis bayi dalam kehidupannya?

Cerita tentang cinta, cemburu, benci, adalah gado-gado kehidupan. Bercampur menyatu yang kadang sulit terpisahkan antara satu dan lainnya.

Demikian pula yang terjadi di Makassar beberapa waktu lalu. Hubungan cinta segitiga antara satu perempuan dengan dua laki-laki berujung maut. Satu di antara laki-laki itu terpaksa meregang nyawa, ditembak oleh seseorang. Korban diduga memiliki hubungan asmara dengan sang perempuan. 

Polisi menetapkan status tersangka terhadap mantan bos sang wanita karena diduga sebagai otak pelaku penembakan. Diduga karena terbakar api cemburu. 

Cinta memang bisa tumbuh dan bersemi di mana saja. Bisa di tempat kerja, mungkin juga terjalin karena relasi pekerjaan, atau kedekatan karena sebab lain. 

Cinta yang dipupuk sesuai norma sosial kemasyarakatan, sesuai syariat keagamaan, tentulah cinta yang sehat. Tetapi manakala cinta berjalan di luar koridor tadi, di situlah bisa timbul persoalan. Ya, seperti kisah cinta segitiga itu. 

Cerita tentang cinta di Makassar memang semakin berwarna. Pernikahan akibat cinta sepasang sejoli yang beda kewarganegaraan juga sering terberitakan. 

Begitu juga pernikahan pasangan yang terpaut jauh usia pun sering kita baca. Pernikahan ini biasa dibumbui dengan cerita uang panaik yang kadang di luar nalar besarannya.

Uang panaik adalah seserahan pemberian pengantin laki-laki kepada pengantin perempuan (bukan mahar). Kabar terakhir, ada pengantin laki-laki yang memberikan sebuah showroom bernilai enam miliar rupiah kepada sang kekasih. 

Selain cerita cinta, luapan rasa benci di kalangan anak muda Makassar juga sering terdengar. Tidak jelas rasa benci apa yang menyelimuti otak dan hati sejumlah anak muda, membuat mereka bertindak kriminal yang boleh dikata extra ordinary. 

Bukan lagi kriminilitas biasa atau pidana ringan. Mereka berkelompok, membawa panah dan senjata tajam lainnya ke mana pun pergi. Entah mengapa mereka dapat menyerang siapa saja.

Rasa nyaman dan aman warga bepergian pun semakin terkebiri. Padahal, semakin tinggi peradaban, nilai-nilai moral suatu komunitas (warga kota), rasa aman dan nyaman warga beraktivitas seharusnya semakin tebal pula. Di mana pun dan kapan saja. 

Kriminilatas ini perlu mendapat perhatian serius bagi penyelenggara pemerintahan kota juga aparat keamanan kota.

Warga ingin beraktivitas kapan pun dan di mana saja tanpa dihantui rasa takut, tiba-tiba anak panah menancap di tubuhnya. Jika tindak kriminalitas seperti itu terjadi, maka Makassar sebagai Kota Dunia, sebagaimana klaim Walikotanya, hanyalah sebuah isapan jempol. Makassar tak lebih dari sebuah desa besar dengan peradaban purba warganya.