KOLOM ANDI SURUJI: Selamat Jalan Kak Rudi...

Andi Rudiyanto Asapa - (foto by sinjaikab.go.id)

SUDAH lama sekali tidak jumpa dengannya. Tiba-tiba mendapat kabar duka atas kepergiannya untuk selamanya. Andi Rudiyanto Asapa meninggal dunia.

Sesaat, saya hanya memandangi teks di grup WhatsApp itu. Tangan saya terkunci. Perasaan saya tak keruan. Kubacakan Alfateha kepadanya. Doa terbaik untuknya. 

Jauh sebelum terpilih jadi Bupati Sinjai, saya sudah mengenalnya. Saya sebagai reporter berlatar belakang pendidikan ekonomi dan arsitek, dia kujadikan guru hukum. Terutama dalam meliput dan memberitakan masalah-masalah hukum. 

Ia "pendekar hukum" yang pernah memimpin Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar. Selepas memimpin LBH dia konsentrasi mengurus kantor pengacaranya di Jalan Andi Mappanyukki Makassar. Kantor itu juga menjadi kantor kedua bagi banyak wartawan yang meliput berita-berita hukum. Terutama kasus-kasus yang sedang bergulir di pengadilan. 

Saya pindah ke Jakarta, dia tetap di Makassar. Belakangan masuk politik pasca reformasi meletus. Lalu terpilih jadi Bupati. 

Suatu saat, saya ketemu di pesawat dalam penerbangan ke Jakarta. Saya goda dia. "Bupati kok naik kelas ekonomi. Tapi pake ajudan sih..." 

Dia hanya tersenyum saya bully. "Kelas ekonomi, kelas bisnis, bersamaan sampainya kan," katanya dengan senyum khasnya.

Dalam penerbangan itu, dia mengingatkan "utangnya" pada saya. Suatu saat saya parkir mobil saya di depan kantornya di Jalan Andi Mappanyukki Makassar. Ternyata dia lihat velg mobil saya rusak.

Dia pun meminta saya ke salah satu bengkel di Jalan Daeng Tata, tidak jauh dari rumahnya, untuk mengganti empat velg sekaligus. "Supaya keren itu mobil. Bilang saya yang suruh," katanya. 

Hingga mobil saya itu saya jual karena pindah ke Jakarta, bahkan sampai detik ini, velg tersebut tidak pernah saya ambil. Itu sebabnya dia bilang "utang". Tetapi saya bilang itu bukan utang. Saya saja yang belum ambil. 

"Saya tahu kenapa kamu tidak ambil. Kamu dilarang kantormu menerima pemberian apa pun dari narasumber. Padahal kan saya kakakmu," katanya. 

Sudahlah kita lupakan saja velg itu. 

Menurut banyak orang, saya dan Rudi memiliki kemiripan. Baik raut wajah maupun postur tubuh yang ceking seperti tiang listrik.

Salah seorang yang mengira saya bersaudara dengan Rudi, ialah pendekar hukum Adnan Buyung Nasution. Bang Buyung menanyakan itu kepada saya ketika bertemu di kantor saya, Kompas Jakarta. 

Lainnya, Hendardi, aktivis hukum dan hak asasi manusia yang juga pentolan LBH Jakarta. "Kamu mirip sekali dengan Rudianto Asapa. Kamu bersaudara?" katanya. 

Cerita tentang kemiripan saya dengan Rudi ini, juga pernah membuat kecele Pak Jusuf Kalla, Wakil Presiden ke-10 dan ke-12. 

Waktu itu Pak JK menghadiri acara pernikahan anak Tajuddin Noor Said di Jakarta. Melihat Pak JK hadir, waktu masih sebagai menteri, saya menghampirinya. Dari belakang saya menyapa. 

Seketika Pak JK berbalik dan menyapa. "He... Apa kabar Pak Bupati?" 

Hmmm Pak JK salah alamat. "Saya Suruji Pak. Bapak pasti mengira saya Andi Rudianto Asapa. Wajah memang mirip Pak, tetapi nasib berbeda jauh...," kata saya. 

"Hahaha...." Semua yang mendengar candaan saya itu tertawa.

Suatu saat dalam penerbangan ke Makassar, saya ketemu lagi di bandara pada saat boarding. Dia sudah selesai masa jabatan bupatinya. 

Waktu itu dia ditemani anaknya Andi Seto Gadhista Asapa. Dia perkenalkan Seto kepada saya. "Dia mau maju sebagai Bupati Sinjai. Bantu-bantulah," katanya. 

"Kamu kenal ini. Jurnalis senior ini," katanya kepada Seto. 

Di situlah perkenalan saya dengan Seto, anaknya, yang kemudian memang terpilih sebagai Bupati Sinjai mengikuti jejak karier ayahnya. 

Itu pula momen terakhir saya berjumpa dengan Rudi. Ketika menulis secuil catatan persahabatan saya dengan Rudi ini, air mata saya berlinang. Perasaan saya diliputi rasa duka mendalam, mengingat masa dulu di kantornya yang sederhana, sesederhana orangnya. Saya lapar, saya minta makan. Kopi pasti otomatis disuguhkan bila saya mampir.

Persahabatan tanpa jarak, benar-benar seperti kakak-adik. Walaupun selalu ada jarak ketika masing-masing dalam posisi profesional. Saya wartawan, dia pengacara dan nara sumber. 

Sedikit bicara, lebih banyak senyumnya. Tetapi Rudi mengajari saya begitu banyak ilmu dan pemahaman hukum, tentang arti kesetiaan dan keikhlasan membela dan memperjuangkan orang kecil.

Bahkan setahu saya, banyak orang yang berperkara hukum dibelanya secara gratis. Bukan saja ketika memimpin LBH Makassar. Bahkan setelah menjadi pengacara partikelir pun, pelayanan gratis nan tulus itu masih dilakukannya. 

Saya pernah menyaksikan Rudi memberi ongkos pulang kepada klien yang dibelanya. Padahal klien itulah yang seharusnya membayar jasa kepengacaraan dan pembelaan Rudi. 

Selamat jalan Kak Rudi, manusia yang berhati mulia. Senantiasa memanusiakan manusia. Beristirahatlah dengan tenang di haribaan Tuhan Yang Maha Mengetahui segala isi hati manusia. 

Doaku, semoga ketulusan hatimu berbalas ketulusan Yang Maha Rahman dan Rahim menempatkanmu di sisi-Nya yang paling indah. Tangan-tangan keriput orang-orang miskin, tak berdaya, tergencet masalah hukum yang engkau bela, turut menengadah ke langit mendoakamu... Aamiin Ya Allah.