Rapid Antigen Bisa Deteksi Varian Omicron
CELEBESMEDIA.ID, Makassar - Ketersediaan alat uji yang murah cepat dan efektif merupakan kunci keberhasilan mendeteksi varian Covid-19. Sejauh ini ada dua alat tes untuk mendeteksi Covid-19 yakni antigen dan juga Polymerase Chain Reaction (PCR).
Namun munculnya Omicron yang merupakan varian baru Covid-19, banyak yang mempertanyakan seberapa akurat alat test Covid-19 dalam mendeteksi varian Omicron.
Yaumi Fachni Tandjungbulu, Dosen jurusan Teknologi Laboratorium Medis Politeknik Kesehatan (Poltekkesk Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Makassar menjelaskan meski varian Omicron memiliki tingkat mutasi yang tinggi pada gen S tes failure, tetapi tetap dapat terdeteksi dengan alat rapid antigen yang ada di Indonesia.
"Tentunya sampai saat berdasarkan penelitian yang ada kit yang tersedia secara komesial saat ini dapat mendeteksi varian omicron karena kita tahu varian omicron itu sendiri merupakan virus SARS-CoV-2 yang mengalami mutasi yang terjadi pada protein Spike (S) dari struktur protein SARS-CoV-2, jadi apabila kit insert yang ada menggunakan protein rekombinan “Spike” dalam suatu penelitian dikatakan berpeluang besar tidak terdeteksi pada kit uji tersebut, tapi harus kita ketahui bahwa virus ini tidak hanya memiliki protein tersebut ada beberapa protein lain yang digunakan dalam pengembangan alat diagnostik seperti salah satunya yaitu protein rekombinan Nukleukapsid (N), saat ini kit insert yang beredar di pasaran kebanyakan menggunakan protein rekombinan “N Protein” ataupun kombinasi lebih dari satu jenis protein rekombinan dari virus SARS-CoV-2 tentunya dapat terdeteksi pada semua varian mutasi virus SARS-CoV-2 yang ada saat ini," ucapnya dalam Blak-Blakan Seru Celebes Radio, Selasa (22/2/2022).
Yaumi juga mengungkapkan alat test Covid-19 baik itu rapid antigen maupun PCR yang masuk dalam daftar Kementerian Kesehatan tentunya sudah lulus uji validitas dengan tingkat akurasi yang tinggi.
Sampai saat ini untuk penegakkan diagnosa COVID-19 yang ditetapkan oleh World Health Organization (WHO) selain melalui anamnesis dan melihat gejala klinis diperlukan pemeriksaan laboratorium untuk penegakkan diagnosa dalam hal ini sebagai gold standar yaitu melalui pemeriksaan qRT-PCR.
Sedangkan untuk pemeriksaan rapid tes digunakan sebagai pemeriksaan skrining awal pada kasus COVID-19. Beberapa penelitian telah melakukan pengujian sensitivitas antigen rapid tes (swab tes cepat antigen) metode imunokromatografi untuk SARS-CoV-2 berdasarkan berbagai merk komersial antigen yang diteliti menunjukkan variasi dengan rentang 0-94%, namun spesifisitasnya tinggi (>97%).
"Panduan WHO tanggal 11 September 2020 merekomendasikan penggunaan antigen rapid tes (swab tes cepat antigen)
dengan persyaratan mempunyai sensitivitas ≥80% dan spesifisitas ≥97%.Sampai saat ini, pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan telah mengatur terkait penggunaan Kit insert swab antigen yang digunakan di Indonesia, berbagai merk dagang yang ada tentunya telah melalui uji validitas untuk menjamin kualitas dari kit uji tersebut. Penggunaan kit uji untuk diagnosis harusnya menggunakan kit yang telah di rekomendasikan oleh Kementerian Kesehatan karena telah dilakukan uji kualitas atau validitas alat yang bisa menjamin tingkat keakuratannya," jelasnya.
Terkait perbedaan hasil test antara rapid antigen dengan hasil dari PCR, Yaumi menjelaskan hal tersebut disebabkan bebera faktor, diantaranya masa inkubasi virus hingga kadar virus.
"Jadi misalnya antigen itu biasanya bisa mendeteksi virus yang masa inkubasinya kurang dari 6 hari, jadi kalau sudah lama di atas 6 hari bergejala tentu saat diantigen hasilnya negatif, sementara kalau PCR itu masih terdeteksi. Biasanya PCR itu bisa mendeteksi virus yang masa inkubasinya 14 sampai 24 hari. Faktor lainnya itu kadarnya, jumlah virus dalam tubuh kita. Misalnya antigen bisa mendeteksi virus berjumlah 100 lebih. Jika jumlahnya kurang dari 100 itu tidak terdeteksi antigen," ucapnya.
Yaumil Fachni Tandjungbulu menghimbau agar masyarakat tentunya tidak mendiagnosa dan melakukan pemeriksaan swab antigen secara mandiri di rumah karena tindakan swab dan pemeriksaan rapid tes tersebut harus dilakukan oleh tenaga profesional yang telah tervalidasi baik itu secara jenjang pendidikan, pelatihan, maupun uji kompetensi seperti Ahli Teknologi Laboratorium Medis.
"Bila masyarakat melakukan diagnosa dan swab mandiri tentunya ada beberapa risiko yang dapat terjadi dengan tindakan swab dan dalam menginterpretasikan hasil pemeriksaan secara mandiri, karena ada banyak faktor resiko yang bisa terjadi bila tindakan swab tidak dilakukan oleh tenaga profesional," imbaunya.
Ia menjelaskan jika risiko yang ditimbulkan salah satunya pendarahan pada bagian hidung.
"Tindakan swab merupakan tindakan pengambilan spesimen pada nasofaring untuk mengambil spesimen yang digunakan untuk pemeriksaan melalui lubang hidung yang memiliki struktur anatomi sempit dan banyak terdapat pembuluh darah serta mukosa (lapisan kulit dalam) yang tipis. Orang awam yang melakukan swab sendiri tidak memahami struktur anatomi hidung dan tidak mengetahui bagian yang harus diambil, sehingga bagian yang diambil biasanya tidak sampai ke tempat seharusnya yang menjadi bahan pemeriksaan yaitu nasofaring, kesalahan dalam pengambilan bagian untuk pemeriksaan bisa memberikan hasil yang tidak tepat. Bisa jadi hasil pemeriksaan harusnya positif, namun karena tempat pengambilannya salah, maka hasilnya dapat menjadi negatif," tutupnya.