Meraup Rezeki dari Jajanan Buroncong

Basri dan istrinya Sitti Rabiah - (foto by: Ardi Jaho)

CELEBESMEDIA.ID, Makassar - Buroncong, salah satu kue tradisional khas Sulawesi Selatan. Konon menurut cerita, dulu kue buroncong dikonsumsi oleh para pejuang gerilyawan di Sulawesi Selatan untuk menahan rasa lapar pengganti makanan berat.

Meski telah ada sejak dulu, namun jajanan bercita rasa manis dan gurih ini masih bisa dijumpai hingga kini.

Tak sulit menemukan penjual kudapan berbahan dasar santan dan terigu ini  Terutama pada pagi hari. Asap telah mengepul dari gerobak para penjual buroncong yang berbaris rapi menanti pembeli di tepi jalan Kota Makassar. 

Basri, salah satu dari sekian banyak penjual buroncong yang menggantungkan hidup dengan menjajakan kue tradisional tersebut. 

Pagi itu masih gelap. Usai menunaikan salat Subuh, Basri ditemani istrinya Siti Rabiah tengah sibuk mempersiapkan segala kebutuhan untuk membuat adonan buroncong.

Satu per satu bahan mulai disiapkan. Siti Rabiah sibuk mencampurkan adonan ke dalam wadah. Sementara Basri suaminya, mulai menyalakan mesin sepeda motornya.

Basri kelahiran tahun 1960-an asal Takalar mulai mengendarai sepeda motornya. Istrinya dengan posisi duduk yang sempurna di atas motor memegang erat adonan buroncong yang dibawanya menggunakan sebuah wadah tertutup.

Jarak antara Kabupaten Takalar ke Makassar cukup jauh, membutuhkan waktu tempuh kurang lebih 1 jam 30 menit. 

"Jadi setiap paginya setelah menunaikan sholat subuh, saya dan istri menyiapkan semua bahan adonan untuk membuat kue broncong, bahan yang disiapkan seperti kelapa, terigu, mentega, tepung, gula, dan garam, setelah adonan selesai dibuat lalu dibawa ke Makassar untuk dijual," ucap Basri kepada CELEBESMEDIA.ID, Minggu (20/3/2022).

Pasangan suami istri ini telah berjualan buroncong sejak tahun 1993. Awalnya mereka berjualan di daerah Takalar, namun karena pembeli yang sedikit sehingga mereka memutuskan untuk berjualan di Makassar tepatnya di Jalan Hertasning.

"Jadi pembuatan kue broncong diajarkan oleh orang tua, dan sudah diwarisi dari turun temurun, awalnya hanya menjual di kampung halaman Kabupaten Takalar, namun karena setiap tahun semakin sedikit pembeli, saya mencoba menjual di Makassar pada tahun 1993, dan Alhamdulillah pembelinya banyak sekali, dan sampai sekarang masih berjualan di pinggir Jalan Hertasning," ucapnya.

Mereka tampak kompak berbagi tugas setelah tiba di lokasi berjualan. Basri membersihkan gerobak dan menyiapkan kayu bakar, sementara istrinya yang memanggang adonan kue broncong. Asap perlahan mengepul, hanya butuh sekitar 3 menit buroncong hangat siap disantap.

Dengan berjualan pagi hingga sore hari, penghasilan yang didapatkan diakui Basri sudah dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Tetapi jika hari hujan penghasilan yang diperoleh lebih sedikit karena pembeli yang sepi. 

"Alhamdulillah. dengan berjualan buroncong di Jalan Hertasning ini terbilang bagus, karena pembelinya lumayanlah, per hari keuntungan bisa Rp100 ribu sampai Rp200 ribu, meski bahan pokok naik, saya tetap menjual dengan harga normal Rp1.000 per buah," tutupnya.

(Laporan: Ardi Jaho)