KOLOM ANDI SURUJI : Merekonstruksi Kejayaan Maritim Padewakang

Padewakang - (foto by tribuntimur)

CELEBESMEDIA.ID, Makassar - SEJARAH kejayaan maritim anak Bugis-Makassar kembali ditorehkan di samudera. Sebuah perahu kuno jenis Padewakang, Ahad 8 Desember 2019, angkat sauh di perairan Makassar.

Laut tenang dan langit pun terang. Padewakang kayu pilihan itu bergerak. Tidak ada mesin, hanya mengandalkan tenaga angin. Layar karoro pun terkembang, untuk sebuah pelayaran tradisional menuju Darwin, Northen Territory, Australia. Mereka merekonstruksi napak tilas pelayaran anak-anak laut dari Tanaberu, Bulukumba, para nelayan pencari dan pedagang teripang.

Keberangkatan Padewakan bernama Nur Al Marege yang dimulai kemarin, itu merupakan pelayaran napak tilas kedua pada abad modern ini. Sekitar 30 tahun silam, sebuah perahu Padewakang bernama Hati Marege juga melakukan pelayaran serupa, Makassar-Darwin. Napak tilas pertama itu untuk membuktikan sejarah bahwa sebelum James Cook tiba di Australia Timur, pelaut Sulawesi sudah lebih dulu datang ke benua kangguru itu.

Rekonstruksi kejayaan maritim anak-anak Bugis-Makassar para penakluk laut itu, bukan saja dengan Padewakang. Pernah pula dilakukan pelayaran tradisional Makassar-Madagaskar di awal tahun 1990. Demikian pula Pinisi Nusantara yang melakukan pelayaran historis Makasaar-Vancouver, Kanada.

Padewakang Nur Al Marege dibangun atas prakarsa antropolog maritim Horst H Liebner, berkebangsaan Jerman, yang datang ke Makassar 30 tahun silam, saat masih berstatus mahasiswa.

Ketika itu, Padewakang Hati Marege sedang dibangun oleh mentor Peter Spillet yang berkebangsaan Australia. Saya mempertemukan Hosrt Liebner dengan Pieter Spliiet di rumah kostnya.

Beruntung saya bersama wartawan senior M Dahlan Abubakar, bisa menyaksikan dimulainya pembangunan Hati Marege, saat pemasangan lunas perahu. Kami berdua pun menyaksikan Hati Marege didorong masuk ke laut.

Nur Al Marege maupun Hati Marege sama-sama dibangun oleh ahli-ahli pembuat perahu tradisional (panrita lopi) di Tanaberu, Kabupaten Bulukumba.

Nur Al Marege dan Hati Marege sama-sama dibangun dengan cara dan bahan kuno. Tidak memakai alat dan bahan modern, seperti paku, baut atau mur dari besi baja. Semua unsur dan bahan bangunan perahu terdiri dari kayu atau bahan yang berasal dari kayu. Termasuk lem perekat dan dempul. Berlayar pun tanpa alat navigasi modern seperti kompas. Mereka hanya mengandalkan alat navigasi alam ciptaan Tuhan, berupa tanda-tanda laut, arah angin, dan bintang-bintang di langit. 

Semuanya sama seperti di abad 17. Bahkan makanan bekal di laut selama pelayaran juga sama tempo doeloe, seperti wajik, beras ketan yang dimasak dengan kelapa parut dan gula merah. Makanan yang tahan lama, tidak basi atau bulukan walau berbulan-bulan lamanya.

Laut tak berubah. Bintang tetap bersinar di langit. Kadang redup bahkan hilang ditutupi awan di musim hujan. Dan sebentar lagi musim angin barat tiba. Cuaca tak menentu, badai dahsyat, gelombang laut tinggi. Samudera bisa menjadi ganas, siap menghempaskan dan menelan apa saja yang ada di laut. Tetapi anak-anak laut, pelaut Bugis-Makassar bilang, kualleangi tallanga natowalia. Lebih baik tenggelam dari pada surut kembali ke pantai.

Surut ke pantai bermakna kembali sebelum sampai ke tujuan. Sebelum berlabuh di pelabuhan tujuan. Pelaut ulung tidak seperti itu. Badai, gelombang, angin, gugusan bintang adalah sahabat sepelayarannya, sekaligus penunjuk arahnya. 

Tetapi melipir ke pesisir pantai bukanlah cara haram. Ia adalah teknik pelayaran tradisional yang dilakoni pelaut untuk menghindari ganasnya gelombang dan badai. Sembari terus berlayar berselimut doa dan harapan.

Ketangguhan perahu dan pelaut Bugis-Makassar (termasuk Mandar) sudah terkenal sejak berabad-abad silam. Mereka mencari teripang di laut lepas atau samudera, tetapi sering terdampar di Marege dan terjadilah perdagangan antar benua dan antarbangsa. Bahkan pelaut dari Makassar menikah dengan suku Aborigin, dan berteturunan di sana.

Tahun-tahun awal 1990-an, saya berkesempatan berkunjung ke Darwin. Di sana bertemu kembali Peter Spillet, yang digelari Daeng Makkulle. Ia mengajak saya ke museum, tempat Hati Marege bersemayam. 

Semoga Hati Marege dan kelak Nur Al Marege, sama-sama menjadi sumber ilmu pengetahuan tentang kemaritiman, astronomi, dan rancang-bangun perahu. 

Tak kalah penting, nilai-nilai sejarah dan budaya Bugis-Makasaar, yang senantiasa relevan dan tak lekang ditelan zaman. Menjadi referensi dan inspirasi dari generasi ke generasi.