KOLOM ANDI SURUJI : Kampus dan Moralitas

Kampus UIN Alauddin Makassar dulu IAIN Makassar - (foto by dok CELEBESMEDIA)


KAMPUS-kampus universitas di Makassar, dengan mahasiswa, dosen sampai stafnya, amatlah mashur heroismenya. Spartan menjaga moralitas reformis pada era reformasi akhir 1990-an. 

Sama dengan kampus daerah lain, berhari-hari mereka turun ke jalan. Memprotes berbagai ketimpangan, ketidakadilan, moral bobrok rezim, hingga penguasa Orde Baru tumbang.

Kampus dan manusianya kembali tegak dan diapresiasi tinggi rakyat. Sejarah bangsa pun mencatat dengan tinta emas perjuangan tersebut. 

Kampus yang terlibat mengukir sejarah, sebutlah antara lain nama-nama keren, seperti Universitas Hasanuddin (Unhas), Universitas Negeri Makassar (UNM) yang dulu bernama Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Negeri Makassar, Universitas Islam Negeri Makassar yang dulu dikenal dengan nama Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Makassar, serta Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar.

Sengaja saya menyebut hanya empat kampus itu.  Keempat kampus itulah yang akan disinggung dalam kolom ini. Tidak berarti mengecilkan kontribusi atau sumbangsih reformis kampus lainnya.

Sejatinya, predikat reformasi menumbangkan Orde Baru itu linier dengan prestasi intelektualitas akademisnya. Apakah itu prestasi akademik yang mencetak alumni-alumni brilian, berkarakter heroik, yang berdaya saing global. 

Atau menelurkan hasil-hasil penelitian yang ekselen dalam memperkaya hasanah pendidikan nasional, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta harkat dan martabat  kemanusiaan. 

Juga  inovasi-inovasi pengabdian masyarakat yang dapat mengubah secara signifikan taraf hidup, serta tatanan sosial dan budaya masyarakat secara monumental.

Hal-hal yang demikian hanyalah sederet catatan kecil hakikat dan eksistensi ideal, sekaligus harapan publik pada kampus. Sejatinya kampus berpenghuni manusia-manusia unggul, berkarakter, idealis, berintegritas, serta berbudaya tinggi dan  berperikemanusiaan yang kuat.

Idealnya, kampus menjadi mercu suara, menara api yang menerangi sekelilingnya. Menavigasi masyarakat mengarungi dan menaklukkan badai samudera kehidupan yang penuh tantangan.

Tetapi kita terkecoh dan mungkin kecewa dengan das sein das sollen dunia kampus saat ini. Sebab, bukan di bidang core competence kampus mereka menjadi terkenal alias viral belakangan ini, setelah menumbangkan Orde Baru seperempat abad lampau. Bahkan sifat dan perilaku Orde Baru yang dulu dibenci, diganyang, dan ditumbangkan, justru kini terkesan malah subur bersemai di kampus-kampus.

Independensi dan integritas insan kampus agaknya terdegradasi karena asketisme semakin tergerus arus materialistik yang menerobos tembok kampus. Harapan insan kampus yang asketis tidak lantas berarti mereka harus menjadikan kampus seperti menara gading. Orang-orang di dalamnya tidak mau tahu apa yang terjadi dan trending di luarnya.

Kata asketisme berasal dari bahasa Yunani,  askein yang berarti "melatih". Asketisme kampus dalam konteks ini adalah kedisiplinan melatih konsistensi jiwa penolakan atau penyangkalan terhadap harta/barang duniawi. Gaya hidup yang membatasi aspek-aspek kebendaan dalam hidup sehari-hari. Asketisme adalah intangible, nir-materil. Bernilai tinggi tanpa banderol harga. Values with priceless.

Ketika aksketisme manusia kampus menipis, maka dengan mudah independensi keilmuan dan integritas personalitasnya mencair. Menyatu dalam larutan perubahan dunia luar yang terbawa arus masuk kampus. 

Itulah sebabnya, ada saja manusia kampus dengan kasat mata terlihat menjadi alat kepentingan politik pragmatis. Bersuara bukan lagi menggemakan hakikat dan idealisme keilmuan murni. Tetapi menjadi alat politis yang ditumpangi sekaligus menumpangi kepentingan poitik praktis penguasa dan kekuasaan.

Bahkan manusia-manusia kampus yang sejatinya berintegritas kokoh dalam menjaga tegaknya independensi lembaga, tidak sedikit yang datang menghamba. Menelanjangi dirinya di hadapan penguasa atau politisi demi suatu jabatan di kampus maupun di luar kampus. 

Dalam hal jabatan rektor misalnya. Siapa yang datang ke penguasa dan dekat dengannya maka dialah bakal terpilih. Kondisi ini pada akhirnya cascading (menurun atau merambat) ke seluruh struktur dan organ tubuh kampus. 

Pada titik ini, maka kampus sudah jauh melenceng meninggalkan maruahnya. Dunia kampus di titik nadir tradisi akademik, budaya penelitian dan seni inovasi pengabdian pada masyarakat.

Boleh jadi, itulah sebagian faktor penyebab sakitnya dunia kampus tertentu. Pendidikan (akademik) hanya sekadar formalitas. Penelitian cuma mengejar cum (kredit). Pengabdian pada masyarakt hambar tanpa rasa yang membekas.

Ketika asketisme di kampus menguap lalu mati rasa, maka hedonisme pun mengental. Integritas jadi rapuh, moralitas menipis. Tidak heran jika mencuat berbagai peristiwa memalukan di berbagai kampus, yang tidak sepantasnya terjadi.

Sebutlah beberapa contoh kasus terkahir. Betapa publik dikagetkan dengan berita adanya aktivitas produksi uang palsu di Kampus UIN yang dibongkar aparat kepolisian. Sebelum itu, di Kampus Unhas, dosen yang seharusnya menjadi pengayom malah dilaporkan melakukan pelecehan seksual kepada mahasiswi.

Di Kampus UNM terbongkar jaringan produksi dan peredaran narkoba. Sementara di Kampus UMI pimpinannya terlibat kasus korupsi atau penggelapan penggunaan dana Kampus.

Bagaimana cerita moralitas bangsa jika di kampus, tempat orang seharusnya ditempa karakternya untuk bermoral tinggi, justru akal sehat dan moralitas terkoyak-koyak di sana. Bukankah kampus merupakan ladang pesemaian intelektualitas dan moralitas generasi bangsa. 

Berada di dunia kampus karena pilihan hidup, sejatinya suatu kehormatan dan penghormatan yang amat tinggi. Noblesse oblige. Pada setiap kehormatan melekat tanggung jawab besar.

Miris dan menyedihkan. Pemalsuan uang, pelecehan seksual, narkoba dan korupsi, yang terjadi di kampus itu adalah kriminal purba di era modern. Melecehkan hakikat dan eksistensi serta harkat, martabat manusia dan kemanusiaan. 

Membasuh wajah kampus yang coreng-moreng bernoda perilaku amoral dengan alasan "pelakunya cuma oknum" adalah cara gampang yang nir-intelektualitas. Permisif dan naif untuk sebuah pertanggung-jawaban moral yang inheren pada pundak insan kampus. Maka kampus yang sakral pun kehilangan ruh, jiwa, dan maruahnya.

Artikel ini juga dimuat Tribun Timur, edisi Kamis, 19 Desember 2024