CATATAN MUANNAS : Digitalisasi TV, Alarm Bahaya Demokratisasi Penyiaran

Ilustrasi - (foto by Kominfo)

(Sebuah catatan pengiring seleksi anggota KPI Pusat Periode 2022-2025)

DIGITALISASI siaran televisi mengakrabi telinga kita belakangan ini. Dia hilir mudik menawarkan iming -iming gambar bersih, suara jernih, dan teknologi yang canggih. 

Sayangnya, paket penawaran itu tak kunjung membuai implementasinya berjalan mulus. Alasannya macam-macam antara lain, masyarakat belum siap, STB belum didistribusikan dan seterusnya. 

STB (set top box) adalah perangkat tambahan bagi televisi analog untuk bisa menerima siaran digital. 

Puncak gunung es dari alasan itu agaknya gara-gara digitalisasi penyiaran yang berkelindan dengan kekuasaan dan berbagai motif kepentingan. 

Upaya mendigitalisasi siaran televisi teresterial ditempuh melalui  drama panjang nan melelahkan. Perjalanan mematikan televisi analog,  lalu menghidupkan siaran digital (analog switch off/ ASO) sudah memakan waktu 15 tahun.

Sejatinya, gong digitalisasi sudah ditabuh semenjak 2007. Menteri Komunikasi dan Informatika  telah silih berganti, namun tetap tak kunjung berhasil. Hingga penghujung 2022 tiba, barulah berhasil dieksekusi. Itu pun berkali-kali ditunda. Itu pun tidak sebagaimana mestinya yaitu serentak di seluruh Indonesia. 

Apa susahnya mematikan transmisi analog, lalu bersiaran digital? Kan tinggal ceklek, jadi deh. Rupanya tidaklah semudah itu.

Perjalanan ASO telah menguras banyak energi, mengundang perdebatan hingga berperkara di Mahkamah Konstitusi. Sekali lagi digitalisasi penyiaran berkelindan dengan kekuasaan dan berbagai kepentingan.

Migrasi ke siaran digital merupakan amanat konvensi International Telecommunication Union (ITU) di Geneva, 2006. Indonesia waktu itu diberi batas waktu hingga 17 Juni 2015. Tapi 5 tahun lewat dari batas akhir itu baru bisa diwujudkan sebagian. 

Substansi Penyiaran Terpinggirkan

Begitu banyak pikiran dan tenaga yang dicurahkan untuk mendigitalisasi siaran televisi teresterial. Sayangnya hiruk pikuk digitalisasi siaran itu cenderung meminggirkan substansi penyiaran itu sendiri. 

Hari demi hari berlalu, hanya membincangkan proses hijrahnya. Hanya membicangkan teknologinya,  Digital Video Broadcasting Terestrial (DVB–T). Bersih gambarnya, jernih suaranya, canggih teknologinya, begitu slogan siaran TV digital.

Lalu bagaimana isi siarannya? Sebab, seperti kata pendiri Microsoft, Bill Gates, bahwa technology is just a tool. Teknologi itu hanyalah alat, hanya sarana. Tak kalah pentingnya adalah konten dan konteks siarannya.  

Buat apa bersih gambarnya dan jernih suaranya, kalau konten siarannya tidak melayani kebutuhan publik yang berada dalam wilayah jangkauan siaran. 

Digitalisasi teresterial sepertinya membuka kembali pintu resentralisasi penyiaran. Bersiaran di sebuah wilayah,  tidak lagi dibebani kewajiban memberi alokasi untuk melayani kebutuhan informasi publik di wilayah itu. 

Tapi siaran televisi ditentukan oleh siapa yang mampu membayar sewa mux (mulplexing). Ironinya, kompetisi mendapatkan slot mux tak ubahnya persaingan pasar bebas. Tak ada perlindungan bagi yang lemah.  Mux adalah istilah untuk pengelompokkan paket data yang mampu memancarkan siaran. 

Akhirnya, siapa kuat membayar sewa mux maka dialah yang bisa bersiaran. Lembaga penyiaran daerah yang hanya bermodal pas-pasan bakal terhimpit hingga meregang nyawa. Ini adalah peluang bagi TV-TV di ibukota Jakarta yang punya modal besar, mapan, berskala nasional, untuk kembali menghegemoni informasi (sentralisasi penyiaran). 

Padahal, digitalisasi siaran teresterial tak meninggalkan spektrum frekuensi udara yang merupakan ranah publik. Sehingga, seharusnya pemanfaatan frekuensi di suatu wilayah haruslah melayani kepentingan publik di wilayah itu. Suara ini semakin lamat berhadapan canggihnya teknologi televisi digital.  

Tak terdengar lagi suara nyaring tentang kewajiban mereka untuk berjaringan dengan televisi setempat jika ingin memancarkan siarannya di sebuah daerah layanan. 

Tak terdengar lagi, prosentase siaran lokal yang harus dipenuhi. Bersiaran adalah soal membayar sewa mux, lalu konten siaran dikendalikan secara terpusat.

Resentralisasi, Langkah Mundur

Sentralisasi penyiaran bertentangan dengan semangat demokratisasi. Sentralisasi penyiaran membuka peluang bagi terjadinya monopoli informasi, Jakarta sentris. 

Padahal Indonesia merupakan negara kepulauan yang dihuni beragam suku bangsa, bahasa, dan adat istiadat yang berbeda. 

Untuk mewadahi keberagaman itu, maka desentralisasi penyiaran semestinya dijalankan sepenuh hati. Suara dan potensi daerah perlu tampil setara di lembaga penyiaran. Inilah semangat Undang-undang Penyiaran No.32 Tahun 2002. 

Undang-undang ini mengusung semangat demokratisasi melalui desentralisasi penyiaran. Ada dua pendekatannya yakni diversity of ownership (keberagaman kepemilikan lembaga penyiaran) dan diversity of content (keberagaman konten siaran). 

Buahnya, berdasarkan data Kemenkominfo, kini terdapat 697 lembaga penyiaran di seluruh Indonesia. Sebelumnya, hanya belasan. Tentu saja ratusan lembaga penyiaran itu berkontribusi bagi semakin beragamnya konten siaran.

Kini mereka disuruh bertarung dalam pasar bebas digitalisasi penyiaran. Mudah menebak, siapa yang bakal tersingkir. Desentralisasi siaran bakal mengalami degradasi. 

UU. Penyiaran sebenarnya telah berupaya memberi perlindungan bagi kepentingan publik di berbagai wilayah layanan siaran melalui desentralisasi penyiaran. Ia juga melahirkan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk mengawasinya. 

Publik menaruh harapan besar, KPI tampil sebagai benteng penjaga demokratisasi penyiaran yang terancam oleh hiruk pikuk digitalisasi penyiaran. Semoga seleksi KPI menghasilkan komposisi  yang tetap mengakomodir keterwakilan daerah sebagai sebuah wujud desentralisasi.  

 Muannas, Jurnalis, Penanggung Jawab Celebes TV, Celebes Radio, Celebesmedia.id.