Kisah Inspiratif Pejuang Dua Garis Biru Lewat Bayi Tabung

Bayi kembar Lia Djabir yang lahir dari program fertilisasi in vitro - (ist)

CELEBESMEDIA.ID, Makassar - Menimang buah hati merupakan impian semua Ibu. Tak sedikit yang harus melalui perjuangan keras. Bahkan bertarung nyawa sekalipun, seorang Ibu rela melakukannya. 

Amat berat beban, mulai dari proses awal supaya hamil sampai mengandung sembilan bulan. Akan tetapi, semua perjuangan, seketika akan berubah menjadi rasa bahagia yang tidak dapat dilukiskan, manakala tangis bayi pecah di ruang persalinan.

Kisah perjuangan Lia Djabir boleh jadi sebuah inspirasi. Warga Makassar ini, harus melalui proses panjang, melelahkan serta menyakitkan. Menahan rasa sakit ratusan jarum suntikan. Menembus kulitnya berulang-ulang selama mengikuti fertilisasi in vitro atau bayi tabung.

Memori Lia Djabir kembali berlabuh pada peristiwa 13 tahun silam saat ia dan suaminya mengambil keputusan besar dalam hidup untuk memperjuangkan lahirnya sang buah hati. 

Saat itu usianya masih menginjak angka 35 tahun. Ia bertekad untuk mengikuti program bayi tabung. 

Tidak mudah untuk mengambil keputusan itu, sebab sebelumnya sudah seretetan cara termasuk pengobatan tradisional yang dilakukan, namun tak satu pun upaya itu berhasil.

"Saya tidak langsung melakukan program bayi tabung. Tapi awalnya saya hanya melakukan pemeriksaan biasa sebab setelah 3 tahun menikah saya belum hamil juga," jelasnya kepada CELEBESMEDIA, Jumat (5/8/2023).

"Hasil pemeriksaan dokter tidak ada kelainan. Tapi dokter menyarankan  melakukan inseminasi pertama dan hasilnya gagal. Saya coba inseminasi kedua tetapi gagal juga. Akhirnya saya coba pengobatan tradisinal tetapi juga tidak berhasil," lanjutnya.

Lia pun tak punya pilihan lain saat dokter menyampaikan jika ada kista pada saluran telurnya. 

Kondisi kesehatannya ini tak memupuskan harapannya untuk memiliki seorang anak. Satu - satunya cara yang harus ditempuh dengan mengikuti program bayi tabung.

Risiko besar mempertaruhkan nyawa harus berani ia ambil. Meski Lia pun tahun kemungkinan untuk sukses sangat tipis.

Mengutip Antar, tingkat keberhasilan bayi tabung di dunia di tahun itu (2010), berkisar antara 30 persen. 

Kemungkinan yang kecil itu tetap ditempuh Lia sebagai satu-satunya upaya untuk menimang momongan.

"Saya tiba-tiba sakit dan setelah dicek ternyata ada masalah di kandungan saya yaitu kista. Ternyata saat dioperasi kista saya sudah kena ke saluran telur," kata Lia.

"Dokter menyarankan untuk mengangkat saluran telurnya karena membahayakan nyawa saya. Tetapi setelah didskusikan dan pertimbangan saya belum punya anak dokter mencoba mempertahankan saluran telur," sambungnya.

Manusia seyogyanya hanya bisa berusaha, penentunya adalah sang pencipta yang maha kuasa. Bahkan terkadang harapan tak jalan beriringan dengan realita. 

Perjuangan Lia dengan mempertaruhkan nyawa tidak lantas sukses lewat program bayi tabung pertamanya di tahun 2010.

"Akhirnya saya pun melakukan program bayi tabung yang pertama kali. Tetapi sebelumnya saya sempat dioperasi lagi karena ternyata infeksi kista di kandungan saya sempat membesar. Program bayi tabung pertama saya lakukan di Bandung dan ternyata gagal," kenangnya.  

Setali tiga uang, program bayi tabung keduanya yang dilakukan pada salah satu rumah sakit di Singapura juga tak berhasil. Pengobatannya harus terhenti karena tekanan mental yang dihadapi Lia.

"Setelah gagal di Bandung saya sempat pula melakukan pemeriksaan di Singapura. Sudah sempat konsultasi dengan dokter, pemeriksaan dan bebragai tes, tetapi saat masuk ke tahap berikutnya saya mundur," katanya.

Proses tentu saja tak pernah mengkhianati hasil. Perjuangan panjang Lia untuk melihat "dua garis biru" pada test packnya pun berhasil. Rasa sakit dan ratusan juta uang yang telah dikeluarkan akhirnya terbayarkan.

Tepat pada tahun 2012, ia kembali mencoba program bayi tabung di salah satu rumah sakit di Jakarta dan akhirnya  berhasil. 

"Ya memang kita harus disuntik setiap hari  itu selama beberapa hari. Tetapi itu tidak sakit yang bagaimana dan tentu saja saat ingin melahirkan tidak hanya saat mengikuti bayi tabung, setiap proses kelahiran akan ada risiko yang mengancam nyawa," katanya.

Haru membuncah diikuti lelehan air mata di pipi saat ia mengetahui program bayi tabung yang dilakukannya untuk kali ketiga ini berhasil. Bahkan ia dianugerahi anak kembar.

"Saat ini anak saya sudah berusia 10 tahun dan Alhamdulillah saya diberikan anak kembar cewek dan cowok," ucapnya.

Program bayi tabung adalah suatu metode untuk hamil dimana proses pembuahan sel sperma dan sel telur dilakukan di luar rahim. Untuk mengikuti program ini tidak cukup hanya bermodal mental dan tekad yang kuat.  Pasangan suami istri juga harus memiliki topangan finansial  yang memadai. 

"Biaya yang saya keluarkan selama dua kali program bayi tabung plus pemeriksaan di Singapura sekitar 200 juta rupiah. Ini biaya 11 atau 10 tahun yang lalu dan biaya itu  di luar biaya tiket, penginapan dan makan," lugas Lia saat ditanya terkait estimasi biaya yang telah dikeluarkannya," terang Lia.

Ibu dua anak ini pun berbagi 3 tips bagi pasangan suami istri (pasutri) yang ingin mengikuti program bayi tabung mukai dari mencari dokter dan rumah sakit hingga kesiapan mental.

"Pertama cari dokter yang benar-benar nyaman di hati kita, yang enak diajak konsultasi. Kedua siapkan mental kita suami istri, yang harus kita ingat bayi tabung ini bukan jaminan akan berhasil. Dan tips yang ketiga jangan sampai stres," tutupnya.

Kasih ibu sepanjang jalan. Pejuangannya pun sepanjang napasnya masih berhembus. Karena itu berbanggalah wahai perempuan yang digelari sebagai sosok ibu, selalu menjadi pahlawan di hati anak-anak mereka.